Selebritas Raffi Ahmad dikabarkan akan digandeng oleh putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah dalam kontestasi Pilkada Tangerang Selatan 2020. Seperti dikutip kompas.com, memang semua ini baru wacana, belum menjadi nyata. Azizah pun belum jelas akan pakai kendaraan partai politik apa saat pilkada nanti.
Seperti dikutip kompas.tv, Raffi pun memberikan pandangannya. Dia mengaku masih mikir-mikir. "Kalaupun takdirnya mengabdi untuk negara ya kita harus siap.Â
Sebenarnya aku ngga ada cita cita jadi artis, kalau pengabdian untuk negara ya harus siap aja," kata Raffi. Maka, jika akhirnya Raffi Ahmad maju di pilkada, tak boleh dilarang. Jangan hanya karena dia selebritas lalu dicibir dan dilarang untuk berpolitik.
Satu dasar yang jelas seperti yang diungkapkan Sahid Gatara (2008). Disebutkan bahwa, dari sudut pandang, demokrasi bisa dimaknai sebagai demokrasi formal. Artinya, demokrasi menjunjung tinggi persamaan di bidang politik.Â
Dengan begitu, siapapun boleh berpolitik praktis sesuai dengan aturan yang berlaku. Artis, selebritas, pedagang, pemuka agama, dan sebagainya boleh berpolitik.
Semuanya (kecuali yang dilarang perundang-undangan atau putusan hakim) bisa juga maju pilkada. Artis, selebritas, pedagang, pemuka agama, selain bisa berpolitik juga bisa maju di pilkada. Semua ruang terbuka di demokrasi.
Lalu, bagaimana jika mereka itu dinilai tak kompeten dalam berpolitik dan maju pilkada? Mudah saja, jika mereka dinilai tak kompeten. Tak perlu memilih mereka saat pilkada. Pilihlah calon  menurut penilaian terbaikmu.
Hak pemilih adalah memilih dengan kriteria yang sesuai dengan isi kepalanya. Dia boleh tak memilih selebritas sebagai kepala daerah. Dia juga boleh memilih selebritas sebagai kepala daerah.Â
Demokrasi memberi keleluasaan pemilih menentukan sikapnya. Â Tapi tentu harapannya adalah pemilih memilih calon pemimpin atau calon wakil yang kompeten dan berintegritas.
Memang tulisan ini masih wacana dan belum nyata. Potensi jadi nyata pun belum bisa dipastikan. Tulisan ini hanya berusaha memberikan pandangan bahwa jika mengeliminir hak politik orang berdasarkan status dan profesi adalah bentuk pemasungan demokrasi.
Yang pasti, dalam tulisan ini ada dua penekanan yang hendak saya sampaikan. Penekanan pertama adalah siapapun boleh berpolitik sesuai dengan aturan. Selebritas pun boleh berpolitik dan mencalonkan diri di pilkada.
Jangan karena status atau profesi, seseorang dilarang atau disudutkan untuk tidak maju pilkada. Saya pun berpandangan bahwa pemuka agama pun boleh berpolitik dan maju pilkada. Jangan politik diisi oleh orang itu-itu saja. Atau jangan sampai politik banyak diisi oleh mereka yang jelas-jelas makan uang rakyat.
Penekanan kedua adalah bahwa pemilih memiliki hak untuk memilih. Hendaknya memilih calon yang memiliki kompetensi dan integritas. Gunakan hak pilih sebagai cara untuk mengubah keadaan.Â
Maka pada penekanan ini, mereka yang berada di dunia politik praktis harus menjelaskan pentingnya memilih pemimpin atau wakil yang kompeten dan berintegritas. Tapi bagaimana jika pemilih memilih calon yang bermasalah? Ya tak ada hukuman, itulah kekurangan demokrasi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H