Dalam situasi normal, sebagian besar kita tidak hidup di situasi yang sulit. Kita tidak dihadapkan dengan peperangan, sebagian saya pikir juga tidak dihadapkan pada kondisi geografis yang sulit.
Kita, orang Indonesia ini dibangun dengan cengkerama, dibangun dengan situasi bersama. Kenapa? Karena lingkungan dan iklim kita memadai. Kita tidak dihadapkan pada musim salju yang menbuat aktivitas akan memalaskan.
Maka, pendidikan dengan tatap muka adalah prioritas ketika pandemi sudah usai. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menuai banyak masalah. Dari mulai pembayaran uang, guru tak siap, penjelasan guru atau dosen yang terpotong karena sinyal dan kuota, sekolah atau kampus yang menarik dana sekalipun anak didik atau mahasiswa tak banyak mendapatkan fasilitas sekolah atau kampus.
Yang terpenting juga adalah seperti paragraf atas. Bahwa kita memang dibangun dengan lingkungan untuk membaur. Saya meyakini, itulah fitrah orang Indonesia. Fitrah kebersamaan secara fisik.
PJJ, khususnya bagi mahasiswa, hanya akan membuat aktivitas di kampus berkurang. Kalau aktivitas di kampus berkurang, maka diskusia dan aktivisme yang bertaburan di kampus juga akan terkikis.
Diskusi ala mahasiswa di kampus akan berkurang dan bahkan hilang. Gerakan kampus untuk mengkritisi kondisi negeri juga bakal berkurang. Mahasiswa malah dipacu asyik di rumah sembari kuliah online.
Saya, walaupun sudah bukan pemuda lagi, menilai bahwa diskusi, gerakan mahasiswa itu akan efektif dan efisien jika nyata. Nyata berhadapan berdiskusi, tahu kondisi situasi, gesture, dan mentalitas.
Kalau gerakan pembelajaran online akan diteruskan, seperti kata Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, maka benar benar akan menggerus aktivisme mahasiswa. Kuliah online hanya akan membuat mahasiswa jadi aktif di ruang kamar atau kostan.
Oiya satu lagi. Kalau ini memang penting ngga penting. Penting karena saya pikir sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi itu ingin menikah. Kampus mau tak mau juga bisa dijadikan ajang jatuh cinta (tentu dalam konteks positif). Mahasiswa bisa mengenal mahasiswi dan benih benih cinta itu tumbuk. Cinta di lokasi (cinlok) kampus.
Kuliah online juga akan menggerus potensi cinlok. Apalagi kalau pemuda pas pasan, akan sulit tebar pesona di dunia maya. Kuliah hanya begitu saja. Tapi kalau di dunia nyata bisa menonjolkan diri dengan segala kemampuan yang bisa dilihat mata.
Kuliah online juga akan membuat mereka yang maaf, pemalu, tak akan bisa berubah menjadi tidak pemalu. Kemungkinan mereka akan tetap pemalu karena tak ada tantangan mental bertemu mahasiswa lain.
Maka, wacana pembelajaran jarak jauh setelah pandemi itu saya pikir buang saja. Kembalikan ke kondisi semula, yakni sekolah tatap muka. Masalah di atas hanya masalah kampus yang sedikit saya eksplore. Coba kalau sekolah dasar.
Bagaimana pusingnya kalau anak kelas 1 SD terus diminta sekolah online. Itu membuat masalah yang sangat pelik karena anak anak kelas 1 SD memang belum paham dengan dunia online.
Anak kelas 1 SD juga belum terlalu massif membaca dan menulis. Sekolah dari rumah hanya akan menyulitkan mereka. Guru pun akan kesulitan bagaimana mendidik anak kecil dari jarak jauh. Yang ada, karena pusing, guru memberi tugas saja.
Mas Menteri PJJ jangan dilaksanakan setelah pandemi usai. Kembalikan saja ke pembelajaran jarak dekat. Sudah Mas Menteri. Sudah itu saja, dari saya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H