Jurgen Klopp pelatih Liverpool itu, telah merebut cinta banyak orang. Klopp merebut cinta itu tanpa membuat orang menanggalkan identitasnya. Klopp menjadi sosok yang telah menembus batas-batas fanatisme.
Jika pun dia melatih Timnas Indonesia dan gagal, kehebatannya sebagai sosok besar tak akan luntur. Karena Klopp tak mengikat dirinya dengan fanatisme tim yang dia latih. Klopp merekatkan diri dengan profesionalisme, kemanusiaan, sikap dewasa yang meletup-letup. Klopp bukan membangun cinta sebagai pelatih tim, tapi sebagai sosok manusia profesional.
Klopp tidak menempelkan diri pada keberhasilan. Dia tidak dikenang pure karena keberhasilan. Dia dikenang karena memiliki sikap yang jelas, visi yang jernih. Dia dikenal karena tak pernah rapuh karena kegagalan.
Liverpool gagal juara Liga Champions pada 2018 dengan menyakitkan. Sebab, mereka kalah karena, maaf, kegagalan Loris Karius bermain prima. Tapi, satu musim setelahnya, Liverpool tetap gagah berani. Di tengah kesangsian banyak orang kala semifinal melawan Barcelona, kala itu Liverpool mampu membalikkan keadaan.
Liverpool juara Liga Champions tahun 2019. Sebuah bukti mentalitas petarung yang disemai Klopp. Tahun 2019 pula, Liverpool gagal juara Liga Inggris karena kalah saing secara tipis dari Manchester City. Tapi, Liverpool bangkit di musim ini dan juara Liga Inggris ketika kompetisi masih menyisakan 7 laga.
Sebelum tulisan ini saya lanjutkan. Saya ingin mengatakan bahwa dasar tulisan ini sebagian besar adalah perasaan. Jika terlalu abstrak, ya itulah bentuk perasaan saya memandang Klopp. Jadi yang tertuang dalam tulisan ini tak akan saya kaitkan semuanya dengan fakta. Anda cukup merasakannya. Semoga bisa.
Kembali ke Klopp. Berapa pelatih yang baru sekali juara Liga Champions sejak awal dekade 90-an? Banyak. Roberto Di Matteo, Luis Enrique, Fabio Capello, dan mungkin masih ada yang lain lagi.
Tapi  Klopp saya rasakan tak seperti pelatih yang baru sekali juara Liga Champions. Mungkin karena memori saya juga terpatri kuat soal dua kegagalan Klopp di final Liga Champions bersama Borussia Dortmund dan Liverpool. Kegagalan yang menempatkan sehebat apa dia.
Klopp adalah pelatih yang tidak terlalu konfrontatif pada lawannya. Mungkin sama seperti Zinedine Zidane. Tapi, soal ekspresi, Klopp jauh lebih meletup. Khususnya ketika anak buahnya mencetak gol. Klopp sering berlari, melompat, dan mengepalkan tangan. Sebuah aksi teater yang menarik. Zidane? Paling lebih sering sedikit ekspresi dengan kepala plontosnya yang khas.
Jika urusan trofi, Klopp jelas kalah dari Pep Guardiola dan Jose Mourinho. Tapi, Klopp lebih berwibawa di hadapan anak buahnya. Mungkin ada anak buahnya yang tak suka dengan Klopp. Tapi cerita konfrontasi Klopp itu tak seheboh Pep dengan Zlatan atau Mourinho dengan Pogba.
Klopp jauh lebih punya wibawa di hadapan para pemainnya. Klopp juga bukan pemain hebat kala menjadi pemain. Tapi, dia jarang dilecehkan karena masa lalunya. Orang hormat pada Klopp tanpa mengungkit bahwa dia bukan apa apa di masa sebagai pemain. Hormat orang pada Klopp itu, mungkin mirip orang hormat pada Sir Alex Ferguson.