Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlunya Gerakan "Membaksokan" Bakso

26 Juni 2020   17:38 Diperbarui: 26 Juni 2020   17:42 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak tahu apakah sudah ada yang mendengungkan gerakan membaksokan bakso? Tapi sudah ada atau belum ada, aku tak terlalu peduli. Aku ingin menulis bahwa manusia perlu membaksokan bakso melalui gerakan nyata.

Tulisan ini muncul setelah adanya seorang pedagang bakso cuanki di Kembangan, Jakarta Barat. Pedagang tersebut kepergok kamera pengawas meludahi bakso yang akan akan dia berikan pada pembeli. Aksi meludahi bakso dilakukan agar baksonya laris.

Aksi meludahi bakso jelas menurunkan derajat bakso. Meludahi identik dengan merendahkan. Di mana-mana meludahi selalu memosisikan peludah lebih tinggi dari yang diludah.

Meludahi bakso bukan bentuk kenormalan baru. Sama sekali bukan. Itu bentuk ketidaknormalan basi. Kenapa basi? Karena cerita soal bakso yang diperlakukan tak sesuai "fitrah bakso" sudah lama kudengar. Tapi memang baru kali ini cerita itu ada bukti konkretnya.

Meludahi bakso juga menodai kesucian bakso. Harusnya bakso adalah sosok suci sebelum dilahap si pembeli. Suci dalam arti sebelum dilahap si pembeli, bakso jangan diobok-obok oleh yang lainnya.

Bakso harus diposisikan sebagai bakso. Kronologinya, setelah diramu macam-macam, diberi kuah, lalu dihidangkan. Bakso masuk ke perut dengan sempurna. Jangan pula makan bakso hanya setengah atau tersisa. Kemudian sisanya dibuang. Habiskan saja, biar kita menghargai bakso yang sudah rela disantap.

Jangan terlalu sadis dengan bakso yang siap untuk disantap. Sadis dalam artian, bakso yang rela disantap itu dicuekin begitu saja dan kemudian dibuang. Memakan bakso juga bentuk penghormatan atau pengalamiahan pada sapi, pabrik mi, dan abang tukang bakso.   

Membaksokan bakso adalah bentuk kealamiahan. Kita sewajarnya jangan selalu memosisikan diri sebagai subjek tunggal yang perlu dialamiahkan. Bukan hanya manusia yang perlu dimanusiakan. Bakso juga perlu dibaksokan. Hewan perlu dihewankan. Tanaman perlu ditanamankan.

Artinya apa? Bahwa semua sudah ada porsinya secara alamiah. Hewan ya perlakukanlah seperti hewan, jangan diperlakukan seperti manusia. Manusia perlakukanlah seperti manusia dan jangan diperlakukan seperti hewan. Tumbuhan diperlakukan seperti tumbuhan, ditanam di media tanah. Jangan paksakan tumbuhan ditanam di beton. Itu menyiksa dan mematikan.

Kealamiahan bukan kenormalan baru. Kealamiahan adalah dengung yang harus terus disuarakan. Agar manusia tidak melewati batas. Tidak melewati batas memperlakukan diri sendiri dan tidak melewati batas ketika memperlakukan yang lain, termasuk bakso.

Kadang untuk keuntungan pribadi, untuk harta, untuk uang, untuk kelarisan, kita tidak mengalamiahkan objek tertentu. Ya misalnya tidak membaksokan bakso itu. Tidak mengalamiahkan objek tertentu adalah bagian kezaliman kita. Juga menjelaskan bahwa perilaku kita itu adalah bentuk tidakalamiahan.

Gerakan membaksokan bakso ini tak perlu dilakukan dengan demo. Tak perlu dengan mengarahkan massa. Tak perlu didengungkan dengan tanda pagar di twitter. Kau tahu? Demo menggemakan gerakan membaksokan bakso bisa disisipi orang berkepentingan. Bahkan, takutnya nanti ada aksi bakar-bakar bakso segala. Sukanya kok bakar-bakar. Emang bakso bakar?   

Gerakan membaksokan bakso cukup dilakukan di depan bakso. Cukup dilakukan dengan cara berduaan paling intim. Seperti Romeo bertemu Juliet, seperti Kais bertemu Laila. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun