Dewan Masjid Indonesia membuat edaran terkait salat Jumat. Yang namanya edaran sepemahaman saya memang tak mengikat, hanya anjuran saja. Hanya saja, sekalipun anjuran, tetap bisa membingungkan.
Cerita bermula dari protokol kesehatan saat salat Jumat. Di salat Jumat yang berjemaah itu, memang berpotensi adanya kerumunan. Padahal, saat ini sedang pandemi. Kerumunan tentu memungkinkan Covid-19 menyebar.
Karena itu, untuk mengantisipasi tak adanya kerumunan, maka DMI membuat edaran yang mengusulkan aturan salat Jumat agar mengedepankan protokol kesehatan.
Seperti diberitakan Kompas.com, Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruquthni menjelaskan soal saran DMI. Jadi salat Jumat dibagi dua gelombang. Gelombang pertama pukul 12.00 dan gelombang kedua pukul 13.00.
Untuk menentukan siapa yang bisa ikut gelombang pertama atau kedua, memakai nomor telepon genggam. Jika hari Jumat jatuh di tanggal ganjil, maka mereka yang memiliki nomor belakang HP ganjil, maka salat Jumat jam 12.00. Sementara yang memiliki nomor belakang HP genap, maka Jumatan pukul 13.00. Hal sebaliknya berlaku di tanggal genap.
Namun, saran ini jelas akan sulit dilaksanakan di desa. Seperti di desa saya, banyak mereka yang salat Jumat adalah orangtua yang tak memiliki HP. Kalau anjuran DMI dilaksanakan di desa seperti desa saya, jelas akan menyulitkan.
Bagaimana mau menentukan nomor ganjil genap, jika HP saja tak punya. Beberapa orangtua di desa saya pun masih berkomunikasi seperti zaman lalu. Misalnya saat janjian mau ke acara, maka janjiannya via komunikasi langsung sehari sebelumnya, tidak berkomunikasi dengan HP.
Surat edaran DMI memang cukup solutif bagi masyarakat yang sudah memakai telepon genggam. Namun, yang harus dipahami bahwa tidak semua masyarakat kita menggunakan HP, khususnya sebagian orangtua yang ada di desa. Setidaknya itu yang saya lihat secara langsung.
Jangan "Dipaksa"
Saya termasuk orang yang tak tega "memaksa" orang tua untuk bisa mengikuti zaman. Sebagian orang tua memang bisa enjoy menikmati bermedia sosial. Tapi, sebagian bisa sangat tersiksa ber-HP ria. Sebab, puluhan tahun mereka hidup dengan kealamiahan.
Jangankan main HP, saya pun menduga ada beberapa orang tua di desa saya kesulitan membaca. Kenapa? Karena memang seperti itulah zaman dahulu, apa apa sulit. Sekolah pun sulit.
Maka ketika "memaksa" orang tua agar berzaman now, saya termasuk tak tega. Mengajari orang tua dengan teknologi zaman ini kadang memang sulit. Kadang malah tak tega sendiri melihat orang tua kerepotan melihat HP.
Maka, kebijakan atau anjuran sepertinya memang harus melihat realitas masyarakatnya. Pemerintah atau siapa saja yang punya kewenangan, memang harus memberi permakluman pada orang tua. Sehingga ada kebijakan pengecualian bagi orang tua atau kebijakan berbeda bagi orang tua.
Anjuran DMI dengan berbasis telepon adalah salah satu anjuran yang berjarak dengan realitas masyarakat di desa. Sama halnya kebijakan sekolah online yang berjarak dengan realitas geografis dan ekonomi beberapa kelompok masyarakat Indonesia. Kebijakan atau anjuran yang tak sepenuhnya membumi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H