Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nostalgia 21 Tahun Lalu, Antusiasme Coblosan Pemilu 1999

7 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 7 Juni 2020   19:12 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, foto Kompas/Mahdi Muhammad dipublikasikan Kompas.com

Aku hanya ingin bercerita padamu teman. Cerita 21 tahun lalu tentang euforia Pemilu 1999. Euforia yang tak aku temui kembali. Teman, hari ini (7 Juni) 21 tahun lalu adalah coblosan Pemilu 1999. Saat itu, kita semua seperti menjadi pemilik hajat nasional itu. Kita merasa memiliki, setidaknya itu yang aku rasakan.

Sebelum aku cerita tahun 1999, aku ingin sedikit cerita tentang pemilu sebelumnya yang aku ketahui. Di usia belum sampai 10 tahun aku mengetahui ada Pemilu di tahun 1992. Saat itu, pertarungan hanya diikuti PPP, Golkar, dan PDI. Aku merasa tak ada yang istimewa saat itu, kecuali masa kampanye.

Di daerah pantura Jawa Tengah tempatku hidup, orang naik truk, ramai bergerombol untuk sampai ke lapangan atau area terbuka lainnya untuk meramaikan kampanye. Biasanya ada yang orasi dan ada juga musik. Musiknya biasanya dangdut. Jadi teman, sambil menyelam minum air, sembari kampanye juga jogetan.

Lima tahun setelahnya kondisi lebih menegangkan. Pemilu 1997 masih diikuti tiga kontestan seperti Pemilu 1992. Aku ingat waktu itu, gesekan lumayan dahsyat. 

PDI sepertinya memang kocar-kacir alias gembos. Sebab, dilengserkannya Megawati kala itu dan digantikan Soerjadi. Simpatisan PDI yang juga simpatisan Megawati memilih tak ikut pemilu.

Berkah sepertinya diterima PPP. Konon, orang-orang PDI berlabuh ke PPP. Ini aku tak terlalu tahu sebenarnya bagaimana. Namun, rumor yang berkembang kala itu memang orang PDI berlabuh ke PPP.

Jargon yang digaungkan PPP saat itu adalah "Mega Bintang". Setahuku jargon itu mencuat oleh Mudrick Sangidu, seorang tokoh PPP dari Solo. Mega Bintang dimaknai secara bebas oleh banyak orang sebagai Mega yang berarti Megawati Soekarnoputri dan Bintang yang berarti adalah PPP. Sebab, kala itu lambang PPP adalah bintang. Jargon itu untuk menarik suara PDI ke PPP.

Di Pemilu 1997, suara PPP memang naik daripada Pemilu 1992. Saat Pemilu 1992 suara PPP adalah 17% dan pada Pemilu 1997 suara PPP adalah 22,43%. Setahuku di Pemilu 1997, gesekan di lapangan beberapa kali terjadi.

Pemilu 1997 adalah pemilu akhir di masa Orde Baru. Sebab, setahun setelahnya Reformasi bergulir. Kemudian, setahun setelah Reformasi, Pemilu 1999 dilaksanakan. Teman, aku ingin cerita tentang memori yang aku kenang soal Pemilu 1999.

Sebelum tahapan Pemilu 1999 dilaksanakan, memang ada yang sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Di Pemilu 1999, ada 48 partai yang jadi kontestan. Jumlah itu naik berlipat-lipat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Bahkan di Pemilu 1999, Partai Rakyat Demokratik yang keberadaannya dimusuhi Orde Baru pun bisa menjadi kontestan. Di Pemilu 1999, partai lama di masa Orde Lama kembali muncul dengan susunan orang yang lebih baru. Misalnya Masyumi yang "terpecah" ada dua yakni Partai Politik Islam Masyumi dan Partai Masyumi Baru. 

Juga ada dua PSII yakni PSII dan PSII 1905. Ada tiga PNI, yakni PNI Supeni, PNI Massa Marhaen, dan PNI Front Marhaenis yang diketahui Probosutedjo (adik mantan Presiden Soeharto).

Masih banyak lagi partai yang muncul di Pemilu 1999. Satu yang aku ingat di masa sebelum tahapan Pemilu 1999 dilaksanakan, adalah antusiasme warga yang luar biasa. Orang yang dulu tak pernah bersinggungan dengan partai, tiba-tiba aktif jadi kader partai.

Mereka melakukan itu karena merasa ikut memiliki partai. Ada juga yang beromantisme dengan kembali menjadi kader partai di masa Orde Lama. Maka, saat itu saya yang masih bau kencur juga heran. Kenapa orang bisa berbondong-bondong ikut menguatkan partai?

Basis massa seperti NU dan Muhammadiyah juga jadi basis partai. Warga NU saat itu terbelah dua yakni di PPP dan PKB. Ada juga yang mengikuti SUNI, PKU, PNU, tapi jumlahnya tak signifikan. Warga Muhammadiyah setahuku berlabuh ke PAN.

Jadi, kalau orang-orang NU di kampungku, setelah pengajian pagi selesai, langsung mbahas persiapan pemilu. Jadi catat ya... membahas politiknya bukan saat pengajian. Tapi selesai pengajian bubar, mereka membahas politik, kalau tidak PPP ya PKB. Unik, tapi menarik. Saya suka itu.   

Teman, saya juga punya saudara yang setiap harinya lebih sering nampang sebagai playboy kampung. Ya kalau tidak playboy ya mirip-mirip playboy. Tak ada aura politik sedikit pun. Eh, pas masa Reformasi itu, dia jadi simpatisan partai yang cukup heroik. Dia ikut PDIP. Aku juga heran, hampir semua orang merasa menjadi anggota partai kala itu.

Saya juga mendengar desas-desus bahwa saat itu, banyak orang rela mengeluarkan uang pribadinya untuk kepentingan partai. Bahkan sampai akar rumput pun melakukannya. Mereka berpikir bahwa itulah masa di mana kebebasan berpartai muncul dan mereka mengharapkan akan kehidupan yang lebih baik.

Desas-desus itu menguat karena faktanya banyak posko partai berdiri. Posko-posko itu dibangun oleh orang-orang kampung, pakai dana patungan. 

Poskonya dibangun dari bambu lalu ada gambar partainya. Dan tak ada gesekan antarposko. Buktinya adalah fenomena yang tak jauh dari rumahku. Tak jauh dari rumahku ada posko PPP, 10 meter di samping posko PPP ada posko PDIP. Ya biasa saja tak ada kegegangan.

Kadang ada yang tidur di posko sampai pagi. Sampai orang-orang berangkat kerja, masih ada yang tidur di posko hahaha. Biasanya anak muda yang malam harinya curhat tentang pacarnya atau tentang wanita yang dia incar. Curhat cinta di posko. 

Dulu kalau curhat sama teman harus tatap muka, tak bisa lewat HP, karena HP masih sangat-sangat langka. Paling lihat HP saat nonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan, yakni saat adegan Sarah menelepon atau ditelepon Roy, lelaki botak itu.

Kembali ke Pemilu 1999. Lalu, saat kampanye sangat luar biasa meriahnya. Orang-orang datang ke kampanye tanpa iming-iming duit. Mereka datang ke kampanye sebagai bentuk kesadaran politik. Ya mungkin kesadaran politik dalam level sederhana layaknya orang awam seperti saya.

Sangat meriah sekali saat itu. Orator lebih sering menjual reformasi, menjelekkan kinerja mantan Presiden Soeharto. Kala itu, Orde Baru memang masih jadi musuh. Sekalipun banyak juga yang tetap memilih Golkar. Buktinya Golkar menjadi nomor 2 peserta Pemilu 1999 yang mendapatkan suara terbanyak.

Lalu, di hari H coblosan pada 7 Juni 1999, orang datang ke TPS dengan sangat antusias. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda, semua datang ke TPS. Mereka menyalurkan suaranya dengan gembira. Saking gembiranya ada pendukung PSIS (tim sepak bola asal Semarang) yang membuat surat suaranya rusak. 

Sebab, selain mencoblos PKB di surat suara itu, di surat suara itu ada tulisannya "HIDUP PSIS". Orang-orang di TPS tak jauh dari rumah saya itu langsung tertawa terpingkal-pingkal. Wah itu yang nyoblos pasti si X (tak saya sebutkan namanya). Sebab, hanya si X yang sangat fanatik pada PSIS.

Saat perhitungan suara di TPS pun banyak yang menonton. Saat itu, surat suara hanya ada nama dan gambar parpol. Tidak ada nama caleg seperti sekarang ini. Ibaratnya saat itu orang tak bisa memilih caleg, tapi antusiasme warga sangat luar biasa.

Teman, jika kau ingin tahu antusias itu, lihatlah persentase warga yang memiliki hak pilih yang ikut mencoblos. Saat itu,  92,6 persen warga Indonesia yang memiliki hak pilih menggunakan hak pilihnya. Artinya apa? Artinya mereka yang tidak menggunakan hak pilih hanya 7,4 persen. Itu sangat sedikit sekali.

Teman, itulah pemilu paling antusias, paling ramai, paling genuine yang aku rasakan. Setelahnya, aku tak melihat lagi pemilu seperti itu. Mungkin orang kecewa dengan harapan membumbung tinggi di masa Reformasi yang tak juga terealisasi. Soal masyarakat yang adil dan makmur. Mungkin seperti itu. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun