Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lintah Darat

30 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 30 Mei 2020   10:31 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawan ini memang omongnya besar. Dia dulu aktif di banyak organisasi saat kuliah. Itulah yang dia banggakan dan dia selalu bilang bahwa jaringan organisasi itu penting agar bisa kerja.

Yang tidak aku sepakat dengannya adalah, dia selalu memojokkan anak yang tak berorganisasi sepertiku. "Dia bisa saja kuliah dan berorganisasi seperti itu, kan keluarganya mampu. Sementara aku, selepas kuliah tak mungkin nongkrong di kampus. Aku ya harus pulang membantu ibu. Wawan itu sekalipun mengaku berorganisasi, tapi tak paham realita. Dia pikir semua orang seperti dia yang bisa hanya kuliah, berorganisasi, tanpa perlu membantu orangtua yang sudah berkecukupan," ujarku dalam hati.

Oiya, jarak kampus dengan rumah paling hanya 10 kilometer yang bisa ditempuh dengan bus. Kembali ke Wawan. Dia bilang aku bisa ke perusahaan asuransi. Tapi, katanya, karena aku tak punya jaringan maka aku perlu memberi pelicin.

Untungnya, saat Wawan datang, ibu ada di dapur. Sehingga, aku bisa menolak tawaran Wawan. Sebab, aku yakin bahwa Wawan hanya membual. Dari dulu dia memang sudah dikenal pembual.

Penolakanku pada Wawan jelas membuatku belum punya pekerjaan. Kemudian, setelah dinamika mencari kerja itu, ibu sudah kewalahan. Ibu sangat sedih dengan aku yang belum juga kerja di kantoran. Tiap malam sebelum bergegas menyiapkan jualan, ibu sempatkan berdoa. Ibu selalu menangis dalam doanya. Aku yang kadang mendengarkannya pun tak tega.

Apalagi belasan juta sudah amblas karena ibu ingin aku bekerja. Sementara, badan ibu lama kelamaan sudah mulai terlihat ringkih. Entah mengapa, ibu pun mulai agak diam padaku. Mungkin ibu mulai kecewa.

*

Setelah 15 tahun berlalu, setelah ibu tiada. Setelah semuanya agak lebih baik. Aku kini sudah menjadi bos untuk rumah makanku. Rumah makan yang berawal dari warung di pasar itu. Tapi, ceritaku tetap ada yang tak berubah.

Jika dulu aku dan ibu dimintai uang untuk pelicin pekerjaan, kini aku dimintai uang oleh lebih banyak orang lagi. Aku dipalak oleh mereka yang mengurusi perizinan, aku dipalak oleh mereka yang minta THR karena alasan telah memberi jasa keamanan. Jasa yang aku sendiri tak pernah merasakannya.

Aku pun dipalak untuk urusan pasar. Padahal, warung makanku sudah tak lagi di pasar. Warung makan ibu itu sudah tak lagi aku tempati. Saat dipalak, aku pun tak pernah melawan. Aku beri saja karena teringat omongan almarhum bapak. "Hewan-hewan pun adalah makhluk Tuhan. Tak perlu dilaknat karena memang seperti itulah dunia. Jika ada hewan-hewan meminta padamu ketika kamu kaya, berikan saja karena hewan juga makhluk Tuhan," itu kata bapakku.

Tanganku yang cenderung mudah memberi pada pemalak sering membuat istriku ngomel tak keruan. Pagi, siang, malam, kalau sedang tak mood, maka ulahku yang mudah memberi pada pemalak selalu dibahas dan istriku marah-marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun