Komentator adalah orang yang berkomentar. Komentator profesional adalah mereka yang hidup jadi seorang komentator, mendapatkan upah dari menjadi komentator.
Tugas komentator hanyalah berkomentar. Jika ada yang menyalahkan komentator dengan pernyataan, "hanya bisa bicara, coba kamu lakukan" maka itu adalah pernyataan yang salah.
Kenapa? Ya komentator memang tugasnya berkomentar. Jika dia komentator sepak bola, maka dia berkomentar tentang performa tim sepak bola. Komentar pun beragam, ada yang positif dan ada yang negatif. Tak bisa, hanya karena berkomentar negatif, lalu si komentator diminta turun gelanggang menjadi pemain sepak bola.
Kalau komentatornya jadi pemain sepak bola, lalu pemain sepak bolanya jadi apa? Disuruh jadi komentator? Kalau komentator disuruh jadi pelatih, lalu pelatihnya disuruh ngapain?
Itulah namanya pembagian kerja. Ada yang bermain, ada yang jadi pengatur strategi, ada pemandu soraknya, dan ada komentatornya. Kalau bisa, jangan jadi komentator sekaligus pemain sepak bola sebab itu namanya serakah.
Jangan jadi komentator sekaligus pelatih, itu juga serakah. Di ranah politik pun sama. Komentator juga jangan disuruh jadi pemimpin hanya karena dia mengkritik pemimpin. Sebab, tugas komentator memang berkomentar. Jika komentator juga jadi pemimpin atau manajer, maka itu komentator serakah.
Maka, tugas komentator sudah jelas yakni berkomentar. Jangan disuruh kerja lainnya, nanti dia kehilangan lapak. Atau nanti dia mulai serakah. Atau nanti akan ketahuan bahwa dia memang hanya bisa bicara. Sudahlah, komentator jadikan saja komentator, buat ramai-ramai dunia.
Itu tugas komentator menurut saya. Kalau sudah tahu tugas komentator, maka pihak luar boleh melakukan penilaian. Mana, komentator yang tendensius, mana komentator yang berbobot, mana komentator yang memiliki kompetensi sesuai dengan pendidikan formalnya dan pengalamannya.
Nah saran saya (hanya saran saja), komentator yang berkomentar karena sakit hati ngga usah digubris. Anggap saja kaset rusak. Sebab, mereka yang sakit hati, ketika berkomentar cenderung tidak jernih. Kalau tidak jernih, ada potensi keruh.
Komentator yang menyerang dengan data dan logika tak jelas juga jangan terlalu ditanggapi. Kalau tanpa data dan logika yang jelas, tak akan muncul dialektika. Yang ada hanya debat kusir. Selain itu, mereka yang asal komen itu juga kasihan jika ditanggapi karena akan kebingungan sendiri.
Komentator yang mengkritiknya tak adil ya dibiarkan saja. Tak adil misalnya, kalau pemimpin A melakukan X dikritisi habis-habisan. Giliran pemimpin B melakukan X didiamkan saja atau cari-cari pembenaran untuk membenarkan pemimpin B. Komentator seperti itu juga biarkan saja ngomong sendiri.
Atau komentator yang tak pernah sekolah politik, tak pernah berorganisasi, tak pernah punya pengalaman di kepemiluan, tapi kalau ngomong politik sampai berbusa-busa. Tak perlu ditanggapi serius. Anggap saja dia sedang mendongeng dengan ikan-ikan.
Tapi, ini juga saran, komentator yang tak berkelas itu jangan dilarang berbicara. Karena bicara adalah hak semua manusia. Kalau mau melawan komentator tak berkelas boleh saja, tapi jangan melarangnya untuk berbicara.
Terakhir, perlu juga mendeteksi komentator ketika kita akan melakukan penilaian. Jangan sampai yang akan kita nilai sebagai komentator itu, ternyata pemandu sorak, hahahaha. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H