Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Detik-detik Puncak Reformasi, Anda Ada di Mana?

21 Mei 2020   08:08 Diperbarui: 21 Mei 2020   08:05 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soeharto memberikan keterangan pers seusai pertemuan dengan para ulama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan ABRI di Istana Merdeka, 19 Mei 1998, dua hari sebelum mengundurkan diri menjadi presiden. Disaksikan Mensesneg Saadillah Mursyid (paling kanan) dan para tokoh, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Amidhan, Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, Ali Yafie, Maruf Amin, Abdurrahman Wahid, Cholil Baidowi, Adlani, Abdurrahman Nawi, dan Ahmad Bagdja.(KOMPAS / JB SURATNO)

Hari ini, 22 tahun yang lalu adalah momen yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah Indonesia. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Pengunduran diri setelah berkuasa 32 tahun. Pengunduran Presien Soeharto juga menandai naiknya BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia yang baru. Artinya, sejak merdeka sampai 1998, Indonesia baru memiliki tiga Presiden.

Mundurnya Presiden Soeharto adalah puncak kemenangan Reformasi 1998. Sebab, salah satu tuntutan yang digaungkan waktu itu, adalah agar Presiden Soeharto mundur. Kala itu, demonstrasi sangat bergelombang luar biasa. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga daerah lainnya.

Pengunduran diri Presiden Soeharto diungkapkan pada pukul 09.00 WIB. Itu adalah momen yang sangat ditunggu banyak pihak. Momen yang terjadi setelah sehari sebelumnya para menteri ramai-ramai mengundurkan diri, melemahkan pemerintahan Soeharto.

Zaman telah berlalu, tak masalah kita bernostalgia dan jujur berada di mana kita saat detik-detik Reformasi itu. Tentu saya hanya bisa menebak-nebak saja. Misalnya, ada yang berkerumun menonton televisi menunggu pidato terakhir Presiden Soeharto.

Mereka yang mahasiswa kala itu, menonton ramai-ramai. Saya ingat waktu itu, mahasiswa bersorak sorai. Mungkin juga pas waktu detik menegangkan itu ada yang sedang ijab qobul. Atau bisa jadi ada yang sedang pendekatan dengan incaran.

Kalau saya waktu itu ada di rumah saja melihat televisi. Saat itu, saya baru lulus SMP, masih imut-imut. Melihat televisi sebagai bagian euforia. Atau malah ada yang misalnya masih TK dan tak paham apa yang sedang terjadj. Atau bahkan ada yang belum lahir? Kalau waktu itu, Tante Ernie di mana ya?

Atau bisa jadi di masa itu ada yang berada di kubu Presiden Soeharto untuk menyiapkan langkah selanjutnya. Misalnya melakukan halauan pada mahasiswa. Atau ada sekelompok orang yang diminta melawan mahasiswa di gedung DPR MPR. Atau ada sekelompok lain yang melindungi mahasiswa.

Bagi mereka yang butuh sekoci aman, mungkin langsung meninggalkan lingkaran Soeharto dan berlabuh di kubu reformis. Untuk apa? Ya agar kariernya lancar dan tak tersendat lagi. Rugi sedikit tak apa apa asal di masa depan aman.

Para politisi sekarang juga bisa ditanya, di manakah mereka kala itu. Apakah mendukung gerakan reformasi atau mendukung lingkaran kekuasaan Orde Baru. Apapun posisi mereka ya tak masalah, karena itu adalah pilihan hidup.

Jika dulu ada di lingkup Reformasi dan sekarang mengkhianati Reformasi bagaimana? Atau jika dulu melawan Reformasi dan sekarang mendukung Reformasi bagaimana? Ah teman nelikung teman saja ada, masak putar haluan politik tak ada.

Kalau mereka yang gemar melakukan putar haluan di politik, layak kita percayai? Ya terserah kita. Kalau kita memegang nilai keuntungan dan oportunistis ya tak masalah. Tapi kalau kita memegang nilai ajeg, ya mereka yang suka putar haluan politik, ya bisa dikatakan bermasalah.

Politik dari dulu sampai sekarang memang sama. Sebab, politik adalah soal siapa mendapatkan apa dan caranya bagaimana. Basis politik adalah kepentingan. Jika penting buat diri, ya dilakukan dan jika tak penting ya ditinggalkan.

Kita bisa sama-sama merenung tentang kondisi bangsa saat ini. Perenungan untuk menilai apakah Reformasi sudah sesuai relnya. Atau bagaimana. Tentu perenungan itu menjadi penting agar negeri ini bisa melaju ke jalur yang baik.

Perenungan tak hanya untuk kelompok atau untuk masyarakat, tapi juga untuk diri sendiri. Saya meyakini, perenungan individu akan membuat individu berpikir untuk memperbaiki diri. Ketika individu memperbaiki diri, maka adalah usaha untuk memperbaiki bangsa.

Misalnya, bagaimana agar tidak membuang sampah sembarangan. Atau bagaimana agar kita patuh untuk kesehatan diri dengan memilih di rumah saja atau ketika bepergian menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan.

Kebaikan-kebaikan individu yang massif dilakukan tentu akan jadi kebaikan kelompok dan masyarakat. Imbasnya, satu per satu masalah negara ini bisa terurai dan bisa terselesaikan. Maka, maka Reformasi 22 tahun yang lalu bisa jadi pemicu kita lebih baik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun