Lebaran atau idulfitri sebentar lagi. Bagi saya di masa kecil, saat-saat seperti ini adalah masa hitungan jam. Semua sudah dipersiapkan dari baju baru, makanan istimewa, dan persiapan mental bahagia untuk mendapatkan amplop di hari kemenangan.
Lebaran bagi saya juga potret momen mengakui kesalahan. Sudah menjadi tradisi jika di masa Lebaran semua saling memaafkan. Bahkan, maaf dilontarkan dengan tangisan. Tangisan dan Lebaran adalah potret yang biasa saya lihat.
Dahulu, jika ada keluarga yang jarang bertemu karena jarak, maka kesempatan pertemuan dilakukan di masa Lebaran. Di situlah rasa menyesal atas kesalahan-kesalahan masa lalu tumpah.
Saling berpelukan dan bertangisan antarkeluarga di masa Lebaran pun terjadi. Bahkan, mereka yang berseteru kadang juga reda di masa Lebaran. Biasanya yang netral akan bilang gini. "Ini kan Idulfitri, sudahlah kalian saling memaafkan. Tak baik terus bermusuhan," begitu biasanya petuah tetua pada yang berseteru usai salat Id.
Akhirnya dua manusia yang berseteru leleh juga. Air mata mereka mengalir, bahkan kadang deras. "Maafkan aku ya," kata yang satu. Yang satunya lagi juga mengungkapkan kalimat yang sama. "Sama-sama, maafkan aku juga," kata yang lainnya. Air mata pun berderai tak keruan ketika keduanya berpelukan.
Kadang, saat makan ketupat, Â keduanya masih sesenggukan. Ketupat dan kuahnya pun terasa lebih asin karena campuran tetesan air mata. Begitulah suasana Lebaran. Sekitar 9 tahun lalu, saya pun melihat tangis derai dari lelaki bertato.
Lelaki bertato, dalam persepsi masa kecil saya adalah lelaki yang identik dengan kegarangan dan keperkasaan. Nah, momen 9 tahun lalu itu tidak aku lupakan. Ada seorang tetangga yang bertato, bersilaturahmi usai salat Id.
Dia mendatangi sesepuh yang sudah sakit-sakitan. Sesepuh itu memang terlihat sudah kewalahan dengan kondisinya. Sehingga hanya bisa berbaring. Nah, di momen Lebaran itu, si lelaki bertato ini bersimpuh di samping tempat tidur si sesepuh itu sembari meraung-raung menangis meminta maaf. Lelaki garang pun menangis di masa Lebaran.
Jadi tangis itu, hal yang biasa saya lihat di masa Lebaran. Tapi, mungkin di masa Lebaran tahun ini yang tinggal beberapa hari lagi, tangis akan membanjir. Tangisan yang membanjir di kamar masing-masing.
Anak kost misalnya, yang tidak boleh mudik karena pandemi, dia akan meringkuk di kamar kost. Sembari sayup-sayup mendengar suara takbir Idulfitri di malam hari, sembari ingat bapak dan ibu nun jauh di rumah.
Bapak ibu yang menjagamu waktu kecil. Yang menyekolahkanmu, yang menyuapimu, yang kadang marah karena sayangnya padamu. Dua sosok yang untuk pertama kalinya tak bisa disungkemi langsung di Lebaran.
Di temaram lampu kamar, dengan suara takbir dari rekaman, musala, masjid, di malam itu, derai airmu boleh tumpah. Bolehlah kamu sesenggukan di kostan. Jika rindumu tak bisa dibendung, tumpahkan saja air matamu.
Atau seorang ayah di perantauan yang tak bisa pulang menengok anaknya yang beranjak berlatih jalan. Tak bisa pulang di Lebaran ini karena pandemi. Terpaksa melamun di kamar kontrakan di malam takbiran. Mengenang Lebaran tahun lalu ketika menimang si anak yang masih kecil. Kini ketika si anak mulai berlatih berjalan, tak bisa bersamanya kala Lebaran.
Jika rindu itu menggebu-gebu ayah, maka relaksasikanlah. Jika tetes air matamu mengalir pelan tak apalah. Pun jika tetes air matamu seperti air bah, juga tak masalah.
Atau gadis-gadis mahasiswi yang tetap di kost kala Lebaran ini dan tak bisa mudik, tak apalah. Sayup gema takbir dan bayang wajah ibu tak perlu membuatmu malu mengekapresikan rindu. Menangislah sesenggukan, tak apa. Resapi tiap tetesan sedih itu sebagai berkah.
Setelah salat Id di pagi hari, telepon pun bisa dilakukan. Video call namanya. Gerak ibu bapak, anak yang beranjak berlatih berjalan, jadi obat. Pun jika berkomunikasi sembari menangis bombay, tak apalah.
Dari kamar kost, kamar kontrakan, temaram lampu, diselingi suara takbir, rindu menggebu itu tak apa jika diselingi haru biru. Mungkin Lebaran ini akan banjir tangisan. Tangisan rindu, tangisan rasa bersalah. Siapa tahu kefitrian kita membuat Covid-19 ikut luluh dan mereka pulang ke asalnya.
Jika memang banjir tangis di Lebaran ini seperti air bah, maka para orang-orang berpengaruh bisa memberi kekuatan, memberi motivasi. Mereka yang berpengaruh itu bisa menguatkan, bisa menyatukan, seperti yang Tante Ernie lakukan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H