Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kontinu Menulis Bagus Itu Sulit, Jika Ogah Disebut Tak Mungkin

17 Mei 2020   06:03 Diperbarui: 17 Mei 2020   06:25 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang punya definisi tulisan bagus yang mungkin berbeda. Si A menilai bahwa tulisan bagus adalah bla bla bla. Si B menilai tulisan bagus adalah bla bla bla. Si C menilai tulisan bagus adalah bla bla bla.

Saya juga punya definisi tulisan bagus. Tulisan bagus menurut saya melingkupi teknis dan substansi. Teknis adalah soal teknis tulisan. Misalnya, tahu bahwa setelah titik adalah spasi dan jika ada kata selanjutnya maka diawali huruf besar.

Teknis juga mengerti bahwa angka tak boleh menjadi awal kalimat kecuali di judul. Teknis juga termasuk bahwa menulis nama orang harus diawali dengan huruf besar.

Atau kalau ini pendapat pribadi yakni teknis termasuk tak membuat kalimat panjang. Misalnya, satu paragraf yang terdiri atas 30 kata dijadikan satu kalimat. Teknis juga soal bahasa yang dipilih dalam setiap kata. Bahasa yang nyastra tentu enak kalau dibaca, tapi tak boleh berlebihan karena malah bisa mengaburkan substansi.

Saya pribadi tak menikmati sebuah tulisan yang teknisnya tak bagus. Jarang ada penulis yang tulisannya bagus tapi teknisnya tak bagus. Mereka yang menulis bagus adalah pembelajar, termasuk belajar teknis. Penulis yang menghasilkan tulisan bagus adalah yang kontennya bagus dan teknisnya oke.

Setelah teknis saya akan membahas konten. Menurut saya konten yang bagus bisa bervariasi. Konten yang bagus dalam tulisan berita berbeda dengan konten yang bagus dalam opini.

Saya akan menjelaskan versi saya sendiri soal konten opini. Menurut saya, konten opini akan bagus jika bisa memberikan perspektif beragam. Perspektif didapatkan dari literasi dan logika penulis. Literasi dan logika yang baik tentunya bisa didapatkan dari membaca dan merenung.

Selain itu, ada perspektif pengalaman penulis. Itu menjadi daya tarik tersendiri untuk konten opini. Pengalaman didapatkan dengan mengalami. Kemudian, ada ide yang disodorkan dari penulis. Dari perspektif, pengalaman, lalu ada ide dari penulis.

Saya sering membaca, ada tulisan yang bagus, yang enak dibaca, kaya informasi, tapi tidak memberikan ide. Tulisan hanya menggambarkan saja. Misalnya, si penulis menulis bunga mawar dari bagian dalam sampai bagian luar secara lengkap. Tapi tak punya ide, bunga mawar itu mau diapakan.

Nah, jika sudah bisa membuat tulisan bagus secara teknis dan konten, yang kemudian adalah kontinu. Tapi kontinuitas itu paling tidak ya sepekan sekali menulis opini yang bagus. Kalau menulis opini yang bagus sebulan sekali ya, menurut saya tak istimewa. Apa istimewanya menulis opini bagus sebulan sekali?

Nah, kalau sudah kontinu menulis tulisan bagus sepekan sekali, kuat berapa lama? Mungkin bisa menulis bagus sepekan sekali selama lima bulan, tapi setelahnya Anda mungkin akan lelah. Kemudian di pekan keenam tulisan Anda tak bagus. Baru bisa bagus lagi di pekan tujuh sampai pekan 11. Pekan 12 drop lagi, dan bagus lagi, dan seterusnya. Jadi tak bisa kontinu selalu bagus dalam waktu lama.

Saya melihat Goenawan Mohammad sebagai orang dengan tulisan bagus sepekan sekali dalam Catatan Pinggir. Tapi tetap saja, ada tulisannya terlihat beda dengan tulisan biasanya yang bagus. Itu manusiawi. Lionel Messi pun tidak setiap pertandingan bermain bagus, apalagi kalau sudah menua.

Kenapa penulis yang bagus sulit kontinu membuat tulisan bagus dalam waktu lama? Ya karena hidup itu kompleks. Ingin nulis bagus secara kontinu dalam jangka lama, tiba-tiba ada keluarga yang terkena masalah. Mau menulis bagus secara kontinu dalam jangka lama, tiba-tiba sakit. Mau menulis bagus secara kontinu dalam jangka lama, idenya tidak cepat datang padahal deadline sudah mepet.

Yang pasti lainnya adalah hidup harus berbagi. Tak selamanya orang selalu nomor satu dengan tulisannya dalam jangka waktu lama. Kalau dia selalu nomor satu, maka rezeki hanya akan jadi miliknya, yang lain tak kebagian. Itu namanya ketidakseimbangan.

Tulisan ini hanya menggambarkan dalam perspektif pribadi. Juga bukan berarti bahwa saya penulis yang bagus. Ingat! Orang memahami sepak bola bukan berarti bahwa orang itu pandai bermain sepak bola. Orang memahami politik bukan berarti dia bisa mahir jadi politisi. Memahami buruknya orang lain, bukan berarti bahwa dia paham buruknya diri sendiri. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun