Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Khayal Surga di Gerbang Reformasi 1998 dan Kenyataannya

15 Mei 2020   10:00 Diperbarui: 15 Mei 2020   10:00 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Reformasi 1998 di Gedung DPR/MPR. Foto Kompas/Eddy Hasby dipublikasikan Kompas.com

Bulan ini, 22 tahun yang lalu adalah masa hiruk pikuk luar biasa. Kala itu saya masih SMP. Daerah saya memang tak terimbas langsung dengan gerakan Reformasi 1998. Maklum, kota kecil saja di daerah pantura Jawa.

Tapi aura perubahan itu terasa di banyak tempat. Dari kota besar, kota kecil, sampai pelosok desa. Informasi menjalar sampai ke mana-mana. Kala itu, melalui siaran televisi, kita semua tahu bagaimana gerakan Reformasi bergulir. Detik per detik, berita sangat ditunggu baik di televisi maupun radio.

Sementara, koran dengan bagiannya memberitakan yang lebih dalam. Seingat saya di masa Reformasi itu  hanya ada satu koran umum yang tak memberitakan Reformasi  yakni koran yang identik dengan pemerintah di masa itu. Tak perlu saya sebutkan namanya karena Anda pasti tahu.

Mahasiswa menjadi sorotan luar biasa. Ketika orang-orang kampung melihat di televisi ada mahasiswa ditendang aparat, rasa bersatunya tinggi sekali. Semua mendukung mahasiswa. Paling hanya orang-orang pemerintahan yang kala itu lebih memilih diam.

Saya juga melihat sendiri bagaimana semua lapisan masyarakat antusias berbicara politik. Sopir angkot yang biasanya bicara setoran pun, antusias bicara politik. Pedagang juga bicara politik.

Politik jadi pembicaraan hangat. "Kira-kira bagaimana ini dengan Pak Harto, kuat apa tidak (kuat bertahan atau tidak)," kata seorang sopir pada seorang pedagang. Saya sangat ingat pembicaraan itu karena saya ada di situ sebagai anak kecil yang ikut nimbrung.

"Kayaknya itu memang kuat kuatan pak. Mahasiswa punya berapa, nanti Pak Harto mengerahkan berapa lagi," ujar si pedagang yang saya tak tahu analisisnya muncul dari mana. Saya masih ingat pembicaraan itu.

Saat saya main ke rumah teman yang sangat jauh di pelosok desa. Ibu teman saya pun ikut bicara kondisi Jakarta. "Itu yang ngambil-ngambil barang dagangan, orang yang seperti di televisi itu  jangan ditiru ya," kata si ibu bicara soal penjarahan yang luar biasa di Jakarta waktu itu.

Beberapa orang melihat gerbang Reformasi (sebelum Presiden Soeharto turun) adalah masa yang penuh harapan. Orang-orang menilai setelah Reformasi berhasil, maka kehidupan akan lebih baik.

Orang bebas mengekspresikan pendapat, kesejahteraan akan dirasakan masyarakat. Sebab, jika Reformasi berhasil maka tanda bahwa sumber korupsi sudah dihancurkan.

Jadi, kala itu banyak orang berharap kehidupannya jauh lebih baik, khususnya dalam hal ekonomi. Tapi memang pada akhirnya ada yang tak merasakan perbaikan ekonomi. Sebelum atau setelah Reformasi, ya sama saja tetap miskin dan susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun