Tulisan ini hanya ingin mengajak memahami bagaimana memosisikan para agamawan kita. Jika sang agamawan enggan populer, tak perlu dipaksa untuk naik podium dengan kalungan bunga terharum dan terbaik di dunia.
Jika agamawan Anda adalah orang yang ikhlas untuk bersolek dan berselebritis ria, maka tak masalah. Karena agamawan memang tak selalu berada di rumah Tuhan dan sibuk dengan ritus rohani seperti yang digambarkan Anton Chekov di cerpen "Di Kota Ada Surga".
Dunia membutuhkan agamawan yang juga seperti selebritis, yang mau populer. Agar agamawan bisa beranjak dari ruang-ruang sepi. Agar agama bisa disemai di ruang yang lebih terbuka, lebih glamour, karena manusia juga tercecer di keramaian.Â
Tak perlu dihujat mereka yang berceramah di televisi seperti selebriti. Sebab, agama hak semua orang. Agama tak hanya menjadi hak mereka yang selalu di rumah Tuhan. Karena agama dipupuk agar semua dari kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Ya, semua dari kita, tak peduli ada di sawah, pabrik, mal, gedung bertingkat, dan gemerlapnya dunia hiburan.Â
Namun, jika ada agamawan yang memang ingin menyepi, maka berilah ruang pada mereka untuk menyepi. Jika agamawan lebih suka mengurusi kaum papa dan orang-orang desa, maka biarkanlah. Karena keheningan juga membutuhkan agamawan.
Jangan sampai semua agamawan menjadi artis. Maka, perlu ada yang menyelami relung-relung kecil di pelosok dunia ini. Agamawan yang mau mendengar cerita mereka yang sawahnya kena puso. Agamawan yang tiap hari penuh lumpur di sawah atau bau ikan di pinggiran laut.
Biarkanlah para agamawan itu sealamiah mungkin menjalankan keinginan dan hasratnya. Orang-orang seperti kita yang biasa ini, cukup memberi ruang agar jalan para agamawan lebih lapang.
Bukan malah menjadikan semua agamawan menjadi aset. Menjadi aset adalah dengan menjadikan semua agamawan sebagai orang terkenal. Tak perlu. Jika memang guru-guru agama kita tak mau jadi populer, maka kita hanya perlu mendoakan agar mereka konsisten menjalani hari-hari layaknya orang-orang di tepi.
Tak perlu setiap agamawan yang pandai kau paksa memakai pakaian kebesaran, kau bawa ke mana saja untuk dijadikan alat menyadar. Jangan juga membawa dalih, "kemanfaatan Anda akan lebih besar jika terkenal". Jangan, sekali lagi jangan. Jika ada agamawan yang ingin menepi bersama orang-orang kecil, jangan diganggu.
Lalu, tak perlu juga khawatir panggung-panggung populer itu kemudian muncul para pemuka agama gadungan yang bodoh. Pemuka agama yang menjulurkan lidah untuk kata-kata tak beretika.Â
Percayalah, bahwa orang-orang kita sudah paham memilih mana yang layak jadi panutan dan mana yang layak diacuhkan. Jika pun sebagian kita terkesan tak berbunyi ketika ada agawaman tukang caci, sejatinya sebagian kita tersebut sudah tahu.
Kita pun sudah merasakan bagaimana tak enaknya ketika satu kelompok dengan kelompok lainnya dibentur-benturkan atas nama agama. Rasa tak enak itu saya yakin tak akan ada yang mau mengulanginya. Â Â
Selain itu, dorong mereka yang berada di lingkungan berwenang untuk bertindak. Apalagi jika sudah berurusan dengan pidana. Proses hukum pada mereka yang menggunakan agama untuk kepentingan pidana. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H