"Baik. Rajin ya, nyuci motor," ujarnya dengan wajah khas seorang penjilat.
"Ada apa gerangan mampir?" ujarku tak mau basa-basi. Aku masih mencuci motorku.
"Silaturahmi," katanya.
"Selain itu?" tanyaku.
"Ya silaturahmi saja," katanya.
Aku tak mau melihatnya lama-lama karena memang mendidih darahku ketika melihatnya. Â Sembari mencuci motor, aku mengeluarkan ludah tepat di depannya. Aku tak peduli dia jijik atau tidak.
Aku tak membuka pembicaraan apapun setelahnya. Dia juga sepertinya mulai kebingungan mau membicarakan apa. "Aku pulang dulu ya," katanya.
"Ya hati-hati," ujarku masih dengan mencuci motor. Dia berlalu pergi, seperti ayam kehilangan induknya. Mungkin hatinya juga mendidih dengan perlakuanku. Tapi biarkan saja, aku menilai apa yang aku lakukan hanyalah permainan dalam hidup. Â
Berkali-kali darahku mendidih dibuatnya dan aku masih memiliki banyak kesempatan untuk membalasnya. Membalas dalam konteks bahwa permainan itu ada kalanya diserang dan ada kalanya menyerang.
Ternyata, adeganku dengan si teman itu diketahui istriku. Dari balik jendela dia mempertanyakan perilakuku. "Kenapa tamu kamu perlakukan begitu, pak?" ujar istriku dengan nada tinggi.
"Itu hanya permainan bu. Permainan hidup. Aku tidak bisa selalu diserang dan diam. Ada kalanya aku menyerang. Berapa kali dia memperlakukanku dengan buruk. Kamu tahu berapa pengorbanan ibu (ibuku) untuk menjadikanku sebagai manusia dewasa. Aku disekolahkan, aku diajari menghormati orang, ibu mengeluarkan banyak hartanya sampai aku bisa selesai sekolah pendidikan tinggi (maksudnya D3, red).Â