Dia datang ke rumahku, pagi itu. Mengucapkan salam. Wajahku langsung terlipat secara otomatis, mengenang bagaimana dia memperlakukanku jauh di waktu-waktu sebelumnya.
Aku sudah lama tak bertemu dengannya, mungkin setahunan. Dia adalah salah satu orang yang sering bertemu dan menjadikanku sebagai objek celaan. Kadang, dia memperlakukanku seperti pelayan. Dia pernah memintaku membeli makanan. Saat itu, raut mukaku berubah.
Tentu aku tak bisa terima. Karena aku bukan pelayannya. Aku juga bukan anaknya, bukan pula bawahannya. Gesture-nya ketika menyuruhku juga mengesankan bahwa dia adalah bos. Untung kala itu aku tak memukulnya. Jika satu pukulan saja, tubuhnya pasti jatuh di kebun, karena dia ada di tepi bangunan lantai dua bersamaku saat itu. Aku pun menolak mentah-mentah permintaannya untuk membelikan makanan.
Satu ketika di waktu lainnya, dia mengumbar performa fisikku sebagai yang buruk. Dia ceritakan di depan orang banyak, di belakangku. Kenapa aku tahu? Karena belakangan ada teman lain yang menceritakan itu.
Darahku benar-benar mendidih. Aku sempat berpikir untuk menghabisinya kala itu juga. Entah mengapa dia tak suka padaku, merendahkanku, melecehkanku. Sebenarnya apa salahku? Harusnya dia berkaca, kemampuan pikirnya itu tak seberapa.Â
Dia tak paham peta kehidupan, tak paham bagaimana mendatangi orang, tak paham dengan nama-nama yang telah mengubah cara pandang banyak orang di dunia. "Modalnya cuma ngebossy, padahal bukan bos. Mungkin IQ-nya sekolam, seperti kata Rocky Gerung itu," gumamku dalam hati. Â
Tapi entah mengapa memang aku tak mau menjadikannya sebagai objek yang tak dimaafkan. Aku memaafkannya, bahkan sebelum dia memperlakukanku dengan buruk berkali-kali. Kelak, ketika Tuhan bertanya padaku, maka aku akan bilang aku sudah memaafkannya.
***
Kembali aku cerita saat dia ke rumahku setelah kisaran setahun tak bertemu. Kala itu aku mencuci sepeda motor. Aku memang tak menyalaminya karena memang seperti itu kebiasaan di masa Covid-19.Â
Aku mempersilakannya duduk, tapi dia memilih duduk di teras rumah. Pantatnya duduk di lantai bagian depan rumahku dan kakinya menjejak tanah. Tepat depan teras rumahku memang tanah yang tak seberapa. Kadang dibuat untuk menjemur padi.
"Apa kabar?" kataku sembari terus mencuci motor. Aku tak melihatnya.