Anak buah kapal (ABK) asal Indonesia kembali menjadi bahan pemberitaan. Media elektronik Korea Selatan memberitakan eksploitasi dan cerita sedih ABK Indonesia yang bekerja di kapal Cina.
Seperti dikutip Kompas.com, para pekerja Indonesia itu bekerja 18 jam sehari. Bahkan, seorang ABK mengaku berdiri 30 jam. Dari pengakuan salah satu ABK Indonesia diketahui jika ABK Indonesia meminum air laut.
ABK Indonesia yang minum air laut tersebut mengaku pusing dan seperti ada dahak yang keluar dari tenggorokan. Sementara ABK Cina tak meminum air laut. Diskriminasi pun terlihat dari pengakuan tersebut.
Yang juga mencengangkan, ABK Indonesia yang meninggal dilarung ke laut. Cerita kerasnya kerja di kapal pernah saya dengar dari seorang teman. Memang mungkin tidak semua pekerja di kapal diperlakukan buruk.
Ada cerita dari seorang teman yang lebih senior dari saya, bekerja sebagai ABK. Cerita itu saya dengar sudah lama sekali, mungkin 25 tahun yang lalu. Dia dalam posisi sakit dengan ada luka darah di tubuhnya.
Namun, dalam kondisi sakit, itu tak membuat dia diminta istirahat. Dia tetap bekerja dengan kondisi badan yang sakit parah. Belakangan setelah banyak mengetahui cerita buruk ABK di laut melalui media, saya menilai bahwa kerja di laut memang tidak mudah.
Saya berkhayal, jika ada ABK yang bermasalah dengan atasannya, apa yang akan dilakukan atasannya di atas kapal yang sedang berlayar? Jika orang hidup di darat, kekerasan fisik berpotensi diketahui orang dan bisa dilaporkan ke polisi. Tapi kalau di laut?
Saya pun menyimpulkan sendiri. Bahwa gaji wah orang yang kerja di laut karena memang risikonya tinggi. Jika tidak biasa, kerja di laut mungkin akan mudah stres karena setiap hari bertemu dengan orang yang sama dan memandang laut.
Maka, ketika saya melihat ada anak sekolah pelayaran memiliki fisik luar biasa, ya mungkin karena di laut akan sangat sering muncul gemblengan fisik. Ini semua hanya rabaan saya saja soal kerja di laut. Tapi, tentu juga bahwa ada teman yang hidup di laut dan sejahtera. Saya jarang mendengar ada kisah buruk juga.
Sekadar cerita, di tahun 2000 awal, saya pernah sudah mendaftar kerja di kapal. Sebab, iming-iming gajinya bagus. Saya lupa berapa tepatnya. Saat itu, seingat saya, persyaratan administratif sudah saya kantongi. Tapi saya urung kerja di laut. Tapi saya lupa alasannya mengapa.
Sejatinya, hidup keras di laut juga menjadi pemandangan yang sering saya dapatkan secara tak langsung. Maklum saja, rumah saya dahulu berjarak tak sampai 10 kilometer dengan laut.
Sebagian orang yang saya kenal pun bekerja di laut, namun jadi nelayan tradisional. Jika sedang menjaring dan jaringnya rusak, maka harus bertaruh nyawa memperbaiki jaring di dalam laut.
Ada beberapa cerita keras, yang saya pikir tak cocok untuk saya ceritakan di sini. Dahulu saya juga beberapa kali mencari ikan di laut, tapi tidak menggunakan perahu. Saya hanya membawa jaring bersama anak paman saya.
Jaring itu saya "tanam" di laut, jauhnya 1 kilometer dari bibir pantai. Jalan kaki dari bibir pantai yang cetek sampai di area yang hanya memperlihatkan dada ke atas.
Goyangan airnya juga bisa membuat deg-degan. Hanya saja memang itu pantai utara Jawa, yang ombaknya tak seseram pantai selatan. Jaring itu kemudian ditinggal selama 1 jam. Lalu, saya kembali lagi ke laut untuk mengambil jaring yang sudah banyak ikannya.
Sekali lagi, risiko hidup di laut memang lebih berat daripada hidup di darat. Saya berpikir bahwa ABK adalah salah satu kesempatan bagi warga Indonesia untuk bekerja.
Apalagi, belum lama ini pengangguran di Indonesia tercatat 6,88 juta dengan paling banyak adalah para lulusan SMA. Kerja di laut sebagai ABK adalah salah satu kesempatan mendapatkan pekerjaan. Namun, ya itu tadi, risikonya besar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H