Sebagian orang yang saya kenal pun bekerja di laut, namun jadi nelayan tradisional. Jika sedang menjaring dan jaringnya rusak, maka harus bertaruh nyawa memperbaiki jaring di dalam laut.
Ada beberapa cerita keras, yang saya pikir tak cocok untuk saya ceritakan di sini. Dahulu saya juga beberapa kali mencari ikan di laut, tapi tidak menggunakan perahu. Saya hanya membawa jaring bersama anak paman saya.
Jaring itu saya "tanam" di laut, jauhnya 1 kilometer dari bibir pantai. Jalan kaki dari bibir pantai yang cetek sampai di area yang hanya memperlihatkan dada ke atas.
Goyangan airnya juga bisa membuat deg-degan. Hanya saja memang itu pantai utara Jawa, yang ombaknya tak seseram pantai selatan. Jaring itu kemudian ditinggal selama 1 jam. Lalu, saya kembali lagi ke laut untuk mengambil jaring yang sudah banyak ikannya.
Sekali lagi, risiko hidup di laut memang lebih berat daripada hidup di darat. Saya berpikir bahwa ABK adalah salah satu kesempatan bagi warga Indonesia untuk bekerja.
Apalagi, belum lama ini pengangguran di Indonesia tercatat 6,88 juta dengan paling banyak adalah para lulusan SMA. Kerja di laut sebagai ABK adalah salah satu kesempatan mendapatkan pekerjaan. Namun, ya itu tadi, risikonya besar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H