Sepertinya dua pemimpin kontroversial di dunia perlu melakukan candle light dinner, yakni Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un. Siapa tahu, pertemuan intens dan romantis keduanya bisa membuat dunia adem.
Trump sudah lama dikenal karena kontroversialnya. Dikutip dari cnbcindonesia, Trump pernah tersangkut kasus pelecehan seksual pada  seorang wanita bernama E. Jean Carroll. Kasus itu diklaim terjadi 23 tahun lalu.
Masih dikutip cnbcindonesia, Pengadilan New York mengeluarkan putusan yang memerintahkan kantor akuntan lama Trump Mazars LLP untuk menyerahkan pengembalian pajak (tax return) sang presiden selama delapan tahun.
Dalam pengadilan tersebut, para hakim memutuskan bahwa kekebalan presiden tidak menghalangi pengadilan untuk mengeluarkan surat panggilan pengadilan untuk penyidikan.
Trump juga dituding banyak pihak memainkan isu sensitif melalui media sosial hingga dia bisa menang Pilpres Amerika Serikat. Terbaru, Trump mengungkapkan suntik desinfektan bisa melawan Covid-19. Kemudian, banyak orang Amerika Serikat keracunan dan Trump mengaku tak bertanggung jawab atas yang terjadi pada warganya. Selain itu, masih banyak lagi kontroversi yang menyelimuti Trump.
Bagaimana dengan Kim Jong-Un. Pemimpin muda ini juga tak lepas dari banyak kontroversi. Dia dikenal bertangan besi. Jong-Un mengeksekusi pamannya sendiri Jang Song-Taek pada 2013. Bahkan seperti dikutip detik.com, Jong-Un melakukan metode keji dalam mengeksekusi. Misalnya, memasukkan korban ke dalam akuarium raksasa berisi ikan piranha, mengumpankan korban ke kandang harimau, melakukan pemenggalan, membakar korban hidup-hidup dan meledakkan korban dengan senjata anti-tank.
Baru-baru ini, Jong-Un dikabarkan meninggal dunia. Namun, belakangan diketaui bahwa Jong-Un masih hidup. Pemimpin bertangan besi ini juga mampu menjadikan Korea Utara tak bisa diserang Covid-19. Hanya saja klaim itu dinilai bualan belaka. Masih banyak lagi kontroversi Jong-Un lainnya.
Nah, dia orang pemimpin kontroversial itu perlu melakukan pendekatan dan pembicaraan yang intim. Di tempat yang romantis dengan lilin di malam hari, keduanya bisa berbagi cerita. Dengan pakaian santai atau pakaian resmi tak masalah, yang penting keduanya berhadapan berbagi cerita. Cari tempat paling romantis. Jika perlu keduanya di awal pertemuan sama-sama membawa bunga.
Candle Light Dinner bisa membuat keduanya lepas dan bebas untuk bercengkerama. Bagaimana kendala bahasa? Ah apa sih pentingnya bahasa jika kedua hati sudah menyatu. Tapi, tentu agar hati menyatu keduanya perlu menggunakan teknik tertentu. Misalnya, 30 menit Jong Un bicara, kemudian rekamannya diserahkan ke penerjemah dan diterjemahkan untuk disampaikan ke Trump dan sebaliknya, Â
Ya ribet untuk mula tak masalah. Nanti lama-kelamaan dari gesture kan bisa diketahui keinginan terdalam keduanya. Nah, pertemuan itu dilakukan sepekan secara marathon. Agar kedua hati bisa menyatu.
Saya pikir banyak yang bisa jadi tukar pikiran bagi keduanya. Trump bisa belajar ke Jong-Un bagaimana bisa warga negara Korea Utara tak terkena Covid-19. Lalu, apa resepnya. Ini akan jadi solusi penting bagi Amerika Serikat yang banyak warganya kena Covid-19.
Trump juga bisa belajar dari Jong-Un, bagaimana agar bisa menjadi pemimpin tanpa memakai isu sensitif yang cenderung merusak. Tips Jong-Un itu bisa membuat Trump bermain cantik di Pilpres AS selanjutnya.
Trump juga perlu mengetahui bagaimana rambut Jong-Un bisa sedemikian rupa. Apa resepnya. Jangan remehkan hal-hal remeh! Sebab, hal itu bisa mendekatkan dua insan manusia ini.
Jong-Un juga bisa belajar demokrasi pada Trump. Mungkin bisa belajar menggunakan teknologi-teknologi baru yang dimiliki AS. Jong-Un juga bisa curhat soal penyakitnya secara lebih dekat dengan Trump. Siapa tahu di AS ada dokter yang bisa menyembuhkan penyakit Jong-Un.
Jong-Un juga bisa mencari tahu soal pakaian-pakaian yang lebih up to date ke Trump. Sehingga, saat acara kenegaraan, Jong-Un bisa menggunakan pakaian yang modelnya lebih variatif.
Keintiman-keintiman keduanya saya pikir akan bisa membuka pikiran keduanya. Sebab, keduanya adalah sosok dari dua negara yang bertolak belakang. Saya meyakini, bahwa pertemuan intens, romantis, dan intim keduanya akan mengubah peta dunia.
Trump setelah lebih dekat dengan Jong-Un, akan berubah ke arah yang lebih baik, atau lebih manja. Trump akan belajar bahwa di tengah derita di Korea Utara, Jong-Un bisa tegar seperti itu. Trump bisa melihat lebih dekat sisi humanis Jong-Un.
Itu akan membuat Trump lebih bisa bijak bahwa orang brengsek tak hanya satu orang, tapi banyak orang. Jong-Un juga bisa belajar banyak. Bagaimana orang bisa dipilih banyak orang menjadi presiden. Jong-Un lama-kelamaan akan sadar bahwa potret humanis warga AS itu penting dan menarik untuk diterapkan di Korea Utara.
Tujuh hari saya pikir cukup bagi keduanya untuk berbicara dari hati ke hati. Setidaknya dalam tujuh hari itu, orang AS tak bingung dan jenuh dengan ocehan Trump. Para petinggi Korut juga tak tegang selama tujuh hari itu.
Jika metode ini berhasil, maka negeri-negeri yang berpolemik bisa melakukan pendekatan yang sama. Misalnya, Arab Saudi dengan Iran yang sering berpolemik. Para pemimpin mereka bisa ngobrol di malam yang syahdu, sembari menghirup shisa. Saya meyakini bahwa obrolan yang hangat itu akan menyelesaikan 80% persoalan manusia. Saya meyakini itu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H