Saya sih hanya menduga bahwa Refly Harun membuat kalimat kedua itu karena terngiang atau jengkel pada seseorang atau sekelompok orang. Nah, masalahnya kalimat kedua itu adalah kalimat kesimpulan yang berimbas pada orang lain yang tak dipikirkan Refly Harun.
Saya hanya menduga saja bahwa Refly Harun menulis tweet itu dalam goncangan yang di luar kebiasaan. Sehingga, menulis dua kalimat yang cenderung bermasalah. Saya iba jika memang itu yang terjadi. Intelektual sekelas Refly yang dulu sering mondar mandir di MK sebagai ahli atau "kuasa hukum" membuat dua kalimat yang cenderung bermasalah.
Tapi bisa jadi Refly sengaja membuat kalimat bermasalah itu untuk menaikkan elektabilitasnya. Apalagi kan sebentar lagi pilkada. Jika kalimat itu muncul karena hanya ingin menuai popularitas, saya juga iba.
Terakhir, sekalipun tak sepakat dengan cuitan Refly Harun, saya tak terlalu suka jika ada orang berkomentar dibatasi. Pernyataan pernyataan di dunia maya atau nyata (dalam taraf normal) adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
Jadi, jika ada komentar yang tak disukai, tak perlu ditanggapi. Atau menanggapinya dengan komentar pula sehingga ada dialektika yang bisa bermanfaat bagi pembaca atau pemirsa di mana saja. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H