Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Timnas Argentina dan sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mengenang Tempat Sujud dalam Kelana Hidup

30 April 2020   09:39 Diperbarui: 30 April 2020   09:49 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sisi Masjid Agung Kendal. Kompas.com/Slamet Priyatin

Tempat sujud adalah salah satu memori dalam hidup saya. Tentu sudah banyak tempat sujud yang saya singgahi. Namun, ada beberapa tempat sujud yang saya cukup lama mengakrabinya. Ada satu tempat yang paling saya akrabi, tapi sayang tak ada fotonya.  

Tulisan ini hanya nostalgia pribadi. Mungkin akan mengena bagi mereka yang memiliki pengalaman mirip dengan saya. Saya mulai saja petualangan sujud yang sering saya lakukan.

Masjid Agung Kendal

Sebenarnya Masjid Agung Kendal adalah tempat kedua yang sering saya kunjungi. Ada satu surau yang lebih sering saya mengakrabinya. Sayangya, tak ada dokumentasi yang saya punyai. Tentu saja sebenarnya ada, tapi tidak tahu ada di mana. Langsung saja ke Masjid Agung Kendal.

Di zaman dahulu, ini adalah tempat sujud saya, mungkin selama 12 tahunan saya mengakrabi Masjid Agung Kendal. Saya sering ke sana saat salat Jumat. Kalau salat lima waktu di surau yang saya tak ada dokumennya itu.  Orang-orang kampung kami sering berada di barisan agak belakang sebelah selatan.

Jadi kalau Jumatan selalu ngumpul di situ. Saya tak tahu siapa yang memulai, tapi sering di situ. Saya tak tahu sekarang apakah masih seperti itu atau tidak. Di belakang Masjid Agung Kendal, dulu menjadi tempat saya sekolah madin, kalau bahasa orang orang kampung, sekolah Arab.

Kira-kira saya lima tahun sekolah di situ. Belajar banyak hal tentang agama, dari fiqih, bahasa Arab, tajwid, dan lainnya. Sayangnya, saya tak terlalu serius sekolah sehingga banyak yang saya sudah lupa. Agak menyesal kala sudah menua, tapi sudahlah.

Dahulu kala, Masjid Agung Kendal tidak bertingkat. Baru bertingkat di tahun 90-an. Kala masih SD, saya sering menjadikan Masjid Agung Kendal sebagai tempat berlarian, layaknya anak kecil yang lain. Lalu dimarahi oleh pengurus masjid. Besok lari lagi dan dimarahi lagi dan selalu seperti itu.

Ada satu momen yang tak patut ditiru, tapi momen itu dilakukan oleh anak-anak. Di Kendal dulu, ada satu kebiasaan anak-anak. Jika ada seorang anak bersin maka, anak yang lain bilang "piss". Misalnya si A bersin, maka si B yang ada di dekatnya akan bilang, "piss".

Kebiasaan itu, sudah wajar. Tak tahu kalau sekarang bagaimana. Nah, kala itu saya sudah besar, sedang salat Jumat di Masjid Agung Kendal. Di saat salat itu, ada satu anak kecil katakanlah namanya si A yang bersin. Lalu, anak kecil lainnya yakni si B bilang "piss".

Ternyata respons si B itu menjadi pemantik kekisruhan kecil. Sebab, anak yang lain, katakanlah si C ikut bersin saat salat. Si B pun bilang "piss". Si D juga ikut bersin dan si B kembali bilang "piss". Ada sampai lima kali si B menjawab orang bersin. Repot memang, tapi ya seperti itulah dunia anak kecil. Sudah lama sekali saya tak menginjakkan kaki di Masjid Agung Kendal.

Ada satu momen juga yang rutin dulu dilakukan. Saya lupa di momen apa. Mungkin tahun baru Islam atau apa saya lupa. Di momen itu, pasti ada satu orang pengurus masjid yang memukul bedug dengan sangat mahir, memukul dengan berirama. Saya yang masih kecil saat itu, bersama anak-anak yang lain terkesima melihatnya.

Potret Masjid Nurul Ulum Purwokerto di malam hari. sumber foto: masjid.unsoed.ac.id
Potret Masjid Nurul Ulum Purwokerto di malam hari. sumber foto: masjid.unsoed.ac.id
Masjid Nurul Ulum Purwokerto

Sebenarnya di masa saya hidup di Purwokerto, saya sangat jarang sujud sering di satu tempat. Namun, salah satu ya di atas rata-rata saya kunjungi ya Masjid Nurul Ulum ini. Yang paling menyita perhatian saya adalah bentuk atapnya yang mirip rumah. Kemudian, dari Majid Nurul Ulum inilah saya jadi tahu bahwa masjid serupa sangat banyak tersebar.

Dengan arsitektur serupa, banyak sekali Masjid yang sama seperti Masjid Nurul Ulum. Kenapa? Karena memang Masjid itu didirikan oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila. Yayasan yang cukup terkenal di masa Orde Baru. Jadi sangat banyak masjid yang memiliki arsitektur sama dengan Nurul Ulum Purwokerto.

Masjid Cut Meutia difoto dari lantai 3. Vina Oktavia dipublikasikan Kompas.com
Masjid Cut Meutia difoto dari lantai 3. Vina Oktavia dipublikasikan Kompas.com
Masjid Cut Meutia

Kala saya hidup di Jakarta, juga tak selalu sering sujud di satu masjid. Saya sering pindah dari satu masjid ke masjid lainnya karena pekerjaan saya memang di lapangan. Namun, dari banyak masjid yang saya kunjung, Cut Meutia memang yang paling sering. Saya cukup sering salat Jumat di situ.

Saat Tarawih pun saya juga sering di Masjid Cut Meutia. Kala senggang, kadang saya memang berniat ke Masjid Cut Meutia untuk melepas lelah, tapi tidak tidur ya. Kadang saya juga mendengarkan pengajian di Masjid Cut Meutia.

Selepas salat biasanya saya membeli makanan. Dulu di sekitar Cut Meutia ada bapak bapak jualan kethoprak dan menurut saya cukup enak. Ada juga yang jualan sate padang dan bubur ayam. Namun, saya lebih sering makan kethoprak. Saya tak tahu apakah masih ada atau tidak karena sudah lama sekali saya tak hidup di Jakarta.

Masih banyak sebenarnya masjid atau musala yang saya singgahi. Perjalanan hidup yang sudah panjang mengingatkan kembali bahwa saya bersyukur amat sangat diberi kesempatan untuk bersujud. Diberi gerak hati untuk berada di rumah Tuhan.

Rumah Tuhan juga jadi tempat pelarian ketika saya tak memiliki cukup uang untuk pulang. Kala itu, jam 12 malam saya diturunkan oleh bus yang saya naiki karena uang saya tak cukup untuk sampai ke rumah. Jam 12 malam di Kota Pekalongan sendirian dan kala itu telepon genggam belum familiar.

Saya pun buta dengan Kota Pekalongan. Tak tahu harus bagaimana jam 12 malam sendirian diminta turun dari bus. Akhirnya saya memutuskan mencari masjid terdekat, yakni di Baros. Saya bersyukur bisa tidur di serambi masjid hingga pagi dan kemudian Tuhan memberi jalan bagi saya untuk pulang ke Kendal.

Perjalanan panjang dari satu kota ke kota lain selama hidup juga memberi pengalaman spiritual yang luar biasa. Lebih bisa memahami hidup dan hormat atas proses hidup yang dijalani orang lain. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun