Dua anak muda telah memberi contoh. Sejarah akan mencatat ini sebagai 'kebaikan generasi milenial'. Setelah Belva mundur dari staf khusus milenial Presiden, Andi Taufan Garuda Putra juga mundur dari jabatan staf khusus milenial Presiden.
Adamas Belva Syah Devara mundur setelah sorotan pada Ruangguru menjadi mitra program Kartu Pra Kerja. Belva yang CEO Ruangguru kena sorotan karena dia diduga konflik kepentingan. Memanfaatkan posisinya di pemerintahan untuk kepentingan Ruangguru. Belva dan pemerintah sudah membantah tudingan itu. Namun, di sisi lain Belva memilih mundur dari staf khusus milenial Presiden Jokowi.
Tak lama kemudian, Taufan juga mundur dari staf khusus milenial Presiden Jokowi. Seperti dikutip dari detik.com, Taufan disorot  karena surat kepada camat se-Indonesia. Surat bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 itu dikeluarkan pada 1 April 2020. Dalam surat itu disebutkan ada kerja sama dengan PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), yang akan berpartisipasi dalam menjalankan program relawan desa lawan COVID-19 di Sulawesi dan Sumatera. Andi Taufan sendiri diketahui sebagai pendiri dan CEO Amartha.
Surat yang berkop instansi pemerintah itu disorot. Taufan dituding memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan perusahaannya. Namun, surat kontroversial itu sudah ditarik Taufan. Taufan diketahui mundur dari staf khusus milenial Presiden pada 17 April 2020.
"Pengunduran diri ini semata-mata dilandasi keinginan saya yang tulus untuk dapat mengabdi secara penuh kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama yang menjalankan usaha mikro dan kecil," kata Taufan seperti dimuat detik.com.
Apa yang dilakukan dua generasi milenial itu memberikan potret bahwa generasi milenial memiliki moral yang layak diacungi jempol. Sekalipun polemik yang melingkupi mereka belum sampai ke ranah hukum, mereka sudah mengundurkan diri.
Apa yang mereka lakukan memberi citra yang baik bagi generasi milenial. Tentu harapannya, generasi milenial lainnya bisa mengikuti jejak Belva dan Taufan dalam konteks moralitas.
Belva Davara. Instagram @belvadavara
Mundur Tanpa 'Perlawanan'
Dalam konteks moralitas, apa yang dilakukan Belva dan Taufan patut diacungi jempol. Namun, dalam konteks politik untuk perubahan, keduanya cenderung pasrah. Mereka mundur tanpa membuat statement perlawanan.
Okelah jika statement perlawanan terlalu keras, statement nyentil sebenarnya bisa dilakukan. Bagaimana diksinya, terserah mereka. Tapi perlawanan atau sentilan bisa dilakukan dengan meminta semua pejabat jika diduga konflik kepentingan untuk mengundurkan diri.
Saya pikir sentilan atau serangan seperti itu bisa memberi efek kejut. Setidaknya kembali mengingatkan memori kita semua bahwa anak muda saja bisa legawa, maka yang lebih tua juga hendaknya bisa legawa.
Kalau hanya mundur dan pasrah, akhirnya cerita dugaan konflik kepentingan hanya merekam cerita Belva dan Taufan. Tapi, jika keduanya menyentil atau melawan, maka cerita dugaan konflik kepentingan bisa jadi cerita yang lebih luas.
Jika menilik generasi milenial saat demo RUU KUHP dan KPK, mereka cenderung lebih rileks. Kata-kata mereka tulis cenderung sederhana, ringan, tanpa konfrontasi, dan mengena.
Saya pikir tipikal seperti demo RUU KUHP dan KPK bisa digunakan oleh Belva dam Taufan untuk menyentil dan melawan. Apalagi, keduanya sedang jadi sorotan. Sehingga pernyataan keduanya jika menyentil dan melawan akan jadi sorotan pula.
Sayangnya memang, keduanya tak melakukan perlawanan atau sentilan. Inilah yang kemudian memberi saya sedikit gambaran. Jangan-jangan, generasi milenial sekarang tak terlalu suka politik?
Wah, kalau mereka-mereka generasi milenial yang kreatif dan brilian tak terlalu suka berpolitik, alamat orang-orang bermasalah bakal nangkring di dunia perpolitikan masa depan. Semoga sih jangan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H