Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku geram karena banyak pemerintah daerah yang belum melaksanakan kebijakan secara masif untuk melawan Covid-19. Seperti diberitakan detik.com, Jokowi mengungkapkan ada 103 pemerintah daerah yang belum menganggarkan jaring pengaman sosial. Sebanyak 140 pemerintah daerah belum menganggarkan penanganan dampak Covid-19 pada sektor ekonomi. Kemudian, ada 34 daerah yang belum menyampaikan data anggaran untuk penanganan Covid-19.Â
Dari realitas itu, Jokowi kemudian memberi penekanan. "Artinya ada di antara kita yang masih belum memiliki respons dan belum ada feeling dalam menghadapi situasi yang tidak normal ini," ujar Jokowi saat membuka sidang kabinet paripurna yang dilakukan melalui video konferensi dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020) seperti diberitakan beritasatu.com.
Ternyata, belakangan diketahui jika salah satu daerah yang belum beres itu adalah DKI Jakarta. Hal itu diketahui dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti diberitakan finance.detik.com. "Saya juga akan menyampaikan ke seluruh kepala daerah, ini nggak hanya untuk Pak Anies (Gubernur DKI Jakarta), APBD-APBD di daerah ini masih banyak belum lakukan perubahan," katanya dalam teleconference, Jumat kemarin (17/4/2020).
Menkeu pun mengatakan bahwa masih ada anggaran DKI Jakarta yang bisa direalokasikan untuk Covid-19. Sebab, masih ada anggaran yang sangat berlimpah di DKI Jakarta seperti anggaran belanja pegawai dan barang.
"Kalau kita lihat seperti tempatnya DKI gitu ya belanja pegawai tinggi hampir Rp 25 triliun, belanja barang Rp 24 triliun. Saya tahu mereka bisa lakukan realokasi, refocusing, sambil kita akan mempercepat pembayaran DBH (dana bagi hasil)," katanya.
Realitas Anies yang berseberangan dengan Jokowi ini menjadi catatan kesekian kalinya. Soal penanganan banjir polemik tentang normalisasi versi pemerintah pusat dan naturalisasi versi DKI Jakarta menguak. Perbedaan itu memunculkan perdebatan antara Anies Baswedan dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Saat penanganan Covid-19 ada kesan berseberangan juga. Sebelumnya Anies membuat keputusan gubernur terkait penanganan Covid-19. Keputusan Gubernur itu nomor 291 tahun 2020. Dari keputusan itu kemudian muncul tim yang menangani  Covid-19. Namun, setelahnya Jokowi membuat Keputusan Presiden nomor 7 tahun 2020.
Adanya keputusan presiden itu membuat Anies membuat keputusan gubernur yang baru untuk menyesuaikan aturan presiden. Tim yang menangani Covid-19 pun dirombak. Saat wacana lockdown diumumkan Anies, Jokowi pun menjelaskan bahwa lockdown adalah kewenangan pemerintah pusat,
Selain dua contoh di atas, masih banyak hal yang berseberangan antara Anies dengan Jokowi. Hubungan keduanya sebenarnya cukup mesra di awal kepemimpinan Jokowi di tahun 2014. Bahkan, Anies adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, setelah pencopotan Anies sebagai menteri, hubungan Anies dengan Jokowi terkesan renggang dan berseberangan.
Belum lagi saat kontestasi pilkada 2017, PDI Perjuangan (tempat Jokowi) berada di kubu Ahok yang berlawanan dengan Anies. Untuk sebuah dinamika pemerintahan, saya pikir beda pendapat itu sangat wajar. Namun, jika beda pendapat terlalu sering, cenderung tak ada komunikasi yang baik,
Jika beda pendapat ini terus terjadi dan berulang-ulang yang mengesankan taka da komunikasi yang baik, maka sangat disayangkan. Relasi antara Jokowi dan Anies ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua bahwa antar pemimpin butuh sinergi dan kerja sama. Kalau terlalu sering beda pendapat, yang kasihan adalah rakyatnya. Di sisi lain, perlu juga pihak yang jadi penengah jika antara dua pemimpin lebih sering bersitegang. (*)