Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rebahan, Eks Mensesneg Moerdiono, dan Kehati-hatian

17 April 2020   15:45 Diperbarui: 17 April 2020   15:44 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan pameran kartun bertajuk 40 Tahun Oom Pasikom karya kartunis GM Sudarta (kiri) dihadiri Butet Kartaredjasa yang memerankan tokoh Oom Pasikom, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, serta mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (3/7/2007) malam. KOMPAS/PRIYOMBODO dipublikasikan tribunjabar.

Belakangan ini banyak orang yang diduga rebahan di rumah setelah Covid-19 menerjang. Saya pun begitu. Bahkan sebelum Covid-19 menggejala luar biasa, saya pun sering rebahan.

Saya rebahan ketika berusaha menidurkan anak kecil saya. Sembari rebahan, sembari mengipasi anak dengan kipas tangan. Saat momen itu, tentu harus lebih diam agar si kecil bisa tertidur pulas.

Ketika terdiam itu, pikiran lari ke sana ke mari. Banyak hal yang masuk keluar ke pikiran. Kadang memikirkan diri sendiri, kadang memikirkan keluarga, kadang memikirkan selain dua hal itu.

Tadi pagi, saat ritual rebahan itu saya memikirkan tentang karakter orang yang unik. Si A, si B, si C, dan seterusnya. Karakter unik yang bisa saya renungkan. Lalu, dari pikiran yang lari agak kencang itu, tiba-tiba ada satu sosok yang nyantol.

Dia adalah mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Saya tak memikirkan soal dirinya berada dalam pusaran Orde Baru yang dinilai banyak pihak sebagai pemerintahan yang buruk. Saya hanya memikirkan bagaimana almarhum dalam berkata-kata dan performanya.

Saat Mensesneg Moerdiono sering nongol di TV, saya masih SD. Kala itu, performa purnawirawan TNI itu sering jadi bahan olok-olok. Sebab, dia berbicara sangat lambat, tidak cekatan, cenderung tak terlihat pandai. Dalam beberapa jeda antar kata, sering muncul suara "eeeee". Saya pun memiliki pandangan yang sama, sekalipun saya masih kecil.

Namun, dalam perenungan saya saat ini, saya berbalik pikiran. Bagi saya Moerdiono itu orang yang patut dicontoh dalam hal kehati-hatian. Saya membayangkan, di masa Presiden Soeharto tekanan dalam hal komunikasi publik jelas sangat besar.

Menteri Sekretaris Negara adalah salah satu corong komunikasi ke masyarakat, selain Menteri Penerangan Harmoko kala itu. Saya membayangkan, jika salah kata ketika menyampaikan informasi ke publik, maka bisa celaka.

Maka, bicara Mensesneg Moerdiono yang lambat itu, sepertinya memang memilah kata yang tepat untuk disampaikan. Untuk memilah membutuhkan waktu. Saya ingat, ada kata-kata yang diperhalus di masa lalu dan mungkin masih digunakan di masa kini. Misalnya kata "ditangkap" dihaluskan jadi "diamankan".

Nah, saya pikir dia memang lambat bicara karena memang harus memilah dan memilih kata yang tepat. Satu hal yang kemudian membuat saya meyakini  Moerdiono sebagai orang yang stres berat adalah ketika dia bisa sangat ekspresif ketika acara dangdutan.

Dulu, ada stasiun TV yakni TPI yang identik dengan acara dangdut. Cukup sering dilangsungkan acara dangdut live yang menampilkan pedangdut papan atas Indonesia. Di acara itu, Moerdiono sering hadir. Dia tak canggung ikut berjoget di panggung sembari membawa peluit bertali yang dikalungkan di leher.

Memori saya masih kuat mengingat hal itu. Bagaimana Moerdiono ikut berjoget sembari meniup peluit. Dan momen itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali terjadi kala acara konser dangdut yang disiarkan TPI. Sehingga jika ada acara dangdut kemudian juga ada Pak Moerdiono dengan peluitnya.

Bagi saya, jika ada orang sangat ekspresif di acara seperti konser dangdut, itu adalah upaya untuk melepaskan diri sejenak dari kepenatan. Saya meyakini bahwa sebagai Mensesneg masa itu, stres dan tegang tingkat tinggi jadi rutinitas.

Saya juga ingat ketika membaca sebuah artikel berapa belas tahun setelah Reformasi. Moerdiono digambarkan bisa bicara normal dan tak seperti saat menajdi Mensesneg. Dia bicara mengalir dan biasa saja.

Saya kemudian merenungkan perlunya kehati-hatian. Saya pikir Moerdiono telah memberi contoh secara tak langsung tentang kehati-hatian. Menyampaikan informasi ke publik itu memang hati-hati. Apalagi, informasi yang sangat penting.

Salah informasi bisa jadi masalah besar. Kini, penyampai informasi ke publik tak hanya dimonopoli oleh pejabat negara atau jurnalis. Warga biasa pun bisa menjadi penyampai informasi ke publik melalui aplikasi pesan singkat di telepon genggam.

Banyak kan yang menyampaikan informasi tanpa kehati-hatian? Informasi yang disampaikan tanpa memilah dan memilih. Sampai kemudian, kepanikan menjalar di antara kita semua karena informasi yang disampaikan adalah informasi hoaks.

Di tengah rebahan saya, kemudian saya merasa bahwa membuka lembaran lama untuk dipelajari ulang itu cukup penting untuk direnungkan. Sehingga kita tak perlu mengulangi kesalahan hanya gara-gara tak melihat ke belakang. Oiya, anak saya pun kemudian terlelap. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun