Kalau misalnya karena kebiasaan, ternyata kita adalah orang yang sering seperti itu, bagaimana? Lebih-lebih kala mahasiswa kita misalnya sangat getol membaca buku yang buku itu ternyata buku murah hasil bajakan. Mahasiswa bajakan kah? Sarjana bajakan kah? Tentu banyak jawabannya dan silakan diobrolkan sendiri.
Saya hanya ingin mengatakan begini. Bahwa di tengah dunia ini, kadang kita sering berhadapan dengan keterpaksaan. Kita ingin mendapatkan ilmu tapi kita tak mampu membeli bukunya. Kita ke perpustakaan, bukunya out of date. Kita cari di ebook, belum ada. Akhirnya kita berhadapan dengan pilihan, baca dan beli bajakan atau tak kering ilmu?Â
Apalagi jika buku itu dibutuhkan untuk kepentingan sekolah atau kuliah.
Maka, dengan segala perenungannya, saya tetap mengatakan bahwa ada sisi "buruk" ketika kita membaca buku bajakan. Saya sudah lupa karena saya sudah lama lulus sekolah. Tapi saya meyakini, sangat besar kemungkinan dulu saya ikut menikmati ilmu dari hasil bajakan.
Kalau sudah seperti ini, banyak dari kita memiliki bau "tak sedap" karena ikut melanggengkan bajakan. Maka, ketika sudah berada dalam bau "tak sedap" jangan merasa sok suci, merasa memiliki hak paling eksklusif di surga, merasa paling idealis, merasa paling benar, merasa paling....(silakan diisi sendiri).Â
Sebab, kita hidup (khususnya di Indonesia) tidak dihadapkan dengan realitas hitam putih yang jelas. Kita kadang lebih sering dihadapkan dengan realitas abu-abu yang tak jelas itu. Hidup dengan realitas tak jelas kok merasa paling benar sendiri?
Tapi juga bukan ketika "merasa tidak paling benar sendiri" jadi melegalkan semua hal yang jelas jelas buruk, yang jelas-jelas pidana. Ya kan? Tapi kalau jawabannya "tidak" ya tak apa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H