Sebagai orang awam saya memahami bahwa barang bajakan itu tidak diperbolehkan oleh negara. Barang bajakan itu banyak macamnya. Ada CD bajakan, program komputer bajakan, dan ada buku bajakan. Â
Saya hanya akan menulis tentang yang terakhir saja, soal buku bajakan. Sepengetahuan saya ada buku bajakan yang terang-terangan bajakan. Misalnya begini, sebuah buku dengan judul A, kemudian difotokopi dan dijilid. Hasil jilidannya dijual dengan harga murah. Menurut saya itu bajakan yang terang-terangan.
Kedua, bajakan yang tidak terlalu terlihat. Buku judul A tersebut dicetak tanpa seizin pengarang, pemegang hak cipta. Lalu, buku diberi cover mirip dengan buku aslinya dan dijual dengan harga murah. Itu juga bajakan.
Kalau si pembajak buku, sudah jelas bahwa dia bersalah. Karena dia melakukan aksi bajakan terhadap buku. Lalu, bagaimana dengan si pembeli buku? Saya berpikir dan kemudian mencari tahu dalam konteks hukum positif. Saya menemukan tulisan di hukumonline.com. Tulisan tentang tanya jawab CD bajakan. Walaupun tentang CD bajakan, tapi saya pikir bisa disamakan dengan buku bajakan karena mengacu pada UU umum atau kalau tak salah disebut lex generalis, yakni KUHP.
Lalu, dijelaskan dalam tulisan itu bahwa ada pasal 480 KUHP yang menyebutkan, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah:
Ke-1. Â Â Karena bersalah menadah, barangsiapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan;
Ke-2. Â Â Barangsiapa mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan."
Jika mengacu pada hukum di atas maka pembeli juga bersalah. Karena dalam pasal 480 ke-1 disebutkan kata "membeli". Hukumannya memang sembilan ratus rupiah. Namun, hukuman itu tentu akan lebih berat karena persidangan biasanya juga memakai UU khusus, yakni UU tentang Hak Cipta yang hukuman uangnya lebih up to date. Maklum kalau KUHP itu kan UU yang dibuat lebih dari 30 tahun lalu. Sampai sekarang belum juga direvisi. Beberapa waktu lalu sudah selesai direvisi namun menerima penolakan dari masyarakat sehingga belum diundangkan.
Kembali ke soal bajakan. Kalau penjual dan pembeli kena pasal, bagaimana dengan si pembaca buku bajakan. Pembaca buku bajakan belum tentu penjual dan pembeli. Bisa jadi dia adalah teman penjual atau teman pembeli buku bajakan yang meminjam buku bajakan untuk dibaca. Ketika dia membaca buku bajakan, dia pun mendapatkan ilmunya.
Nah sekali lagi, bagaimana dengan yang membaca buku bajakan? Saya tak tahu pasti hukumnya, tapi jika mengacu pada pasal KUHP di atas, maka membaca cenderung bisa dikategorikan membawa? Sebab, membaca buku umumnya dengan membawa bukunya.Â
Nah di pasal 480 KUHP ke -1 dijelaskan bahwa "membawa" juga kena pidana. Hanya saja, bagaimana kalau dia membaca buku sementara yang membawa buku orang lain? Ibaratnya dia hanya ikut nimbrung membaca buku. Pernah kan satu buku di baca berdua ketika masih kecil? Itu yang repot, hukumnya. Saya tak paham.
Nah sekarang jika kita lihat dari sisi kepatutan. Patut apa tidak jika kita membaca buku bajakan. Padahal buku bajakan itu adalah buku yang dilarang? Ada dua jawaban, yakni patut dan tak patut. Kalau jawabannya patut, maka tak perlu dilanjutnya. Jika jawabannya tak patut, maka ada pertanyaan lanjutan. Apakah ilmu yang kita dapatkan dari buku bajakan adalah ilmu yang patut? Silakan dijawab sendiri.
Kalau misalnya karena kebiasaan, ternyata kita adalah orang yang sering seperti itu, bagaimana? Lebih-lebih kala mahasiswa kita misalnya sangat getol membaca buku yang buku itu ternyata buku murah hasil bajakan. Mahasiswa bajakan kah? Sarjana bajakan kah? Tentu banyak jawabannya dan silakan diobrolkan sendiri.
Saya hanya ingin mengatakan begini. Bahwa di tengah dunia ini, kadang kita sering berhadapan dengan keterpaksaan. Kita ingin mendapatkan ilmu tapi kita tak mampu membeli bukunya. Kita ke perpustakaan, bukunya out of date. Kita cari di ebook, belum ada. Akhirnya kita berhadapan dengan pilihan, baca dan beli bajakan atau tak kering ilmu?Â
Apalagi jika buku itu dibutuhkan untuk kepentingan sekolah atau kuliah.
Maka, dengan segala perenungannya, saya tetap mengatakan bahwa ada sisi "buruk" ketika kita membaca buku bajakan. Saya sudah lupa karena saya sudah lama lulus sekolah. Tapi saya meyakini, sangat besar kemungkinan dulu saya ikut menikmati ilmu dari hasil bajakan.
Kalau sudah seperti ini, banyak dari kita memiliki bau "tak sedap" karena ikut melanggengkan bajakan. Maka, ketika sudah berada dalam bau "tak sedap" jangan merasa sok suci, merasa memiliki hak paling eksklusif di surga, merasa paling idealis, merasa paling benar, merasa paling....(silakan diisi sendiri).Â
Sebab, kita hidup (khususnya di Indonesia) tidak dihadapkan dengan realitas hitam putih yang jelas. Kita kadang lebih sering dihadapkan dengan realitas abu-abu yang tak jelas itu. Hidup dengan realitas tak jelas kok merasa paling benar sendiri?
Tapi juga bukan ketika "merasa tidak paling benar sendiri" jadi melegalkan semua hal yang jelas jelas buruk, yang jelas-jelas pidana. Ya kan? Tapi kalau jawabannya "tidak" ya tak apa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H