Kereta, berjalan melalui alurnya. Sampai waktunya tiba di tujuan akhir, kemudian balik badan meniti jalur sama tapi dari arah yang berbeda. Kereta menjadi satu contoh potret hidup tentang pengulangan momen, kejadian yang mirip atau sama di waktu yang berbeda.
Potret kereta itu ada di momen virus corona. Kereta seperti singgah di stasiun yang sama di waktu yang berbeda. Virus corona ini telah mengubah banyak hal, salah satunya siaran langsung sepak bola di televisi.Â
Tak ada lagi siaran langsung sepak bola di televisi. Kenapa? Karena sepak bola dihentikan sebab corona. Di banyak belahan dunia, khususnya liga elite dunia, sepak bola dihentikan. Sepak bola yang identik dengan keramaian dikhawatirkan akan jadi ajang mewabahnya corona.
Maka, televisi pun tak memiliki barang dagangan berupa siaran langsung sepak bola. Kini, tiap akhir pekan sepi, senyap, tak ada sepak bola. Bahkan bagi mereka yang belum punya pasangan, akhir pekan menjadi ruang gelap yang perlu untuk segera ditinggalkan.Â
Bagi yang lainnya, senyap juga melanda karena tak bisa lagi nongkrong ramai-ramai melihat sepak bola karena keramaian "dilarang". Keramaian akan jadi ajang mewabahnya corona.
Efek tak adanya siaran langsung sepak bola pun beragam. Salah satunya analisis tentang sepak bola pun berkurang. Termasuk analisis para penggawa penulis bola di laman kompasiana ini. Biasanya, di akhir pekan atau setelah akhir pekan, analisis sepak bola tentang hasil laga dan sisi lainnya berserakan. Kini tak ada lagi analisis pertandingan dengan perniknya.
Cerita kali ini ternyata mirip dengan fenomena awal dekade 90-an ketika siaran langsung sepak bola sangat jarang. Saya akan bercerita soal nostalgia itu.Â
Saya masih ingat, laga sepak bola pertama yang saya nonton di televisi adalah pertandingan Piala Toyota tahun 1988. Pertandingan disiarkan langsung TVRI dan kami nonton bareng-bareng di rumah tetangga.Â
Saat itu (Anda boleh percaya, boleh tidak) saya baru berumur 5 tahun. Piala Toyota adalah nama merek untuk ajang Piala Interkontinental. Piala Interkontinental adalah ajang tahunan di akhir tahun yang mempertemukan klub juara Eropa dan klub juara Amerika Selatan.
Ajang Piala Toyota disponsori Toyota dan dilaksanakan di Jepang. Pertandingan Piala Toyota dilaksanakan di Minggu pagi WIB. Di tahun 1988 itu, adalah laga antara PSV Eindhoven melawan Nacional Uruguay.Â
Pemain yang jadi pembicaraan waktu itu adalah Ronald Koeman (PSV). Saya masih ingat, laga diakhiri adu penalti dan PSV kalah. Kiper Nacional adalah Jorge Sere yang kala itu memakai kalung.
Setelah tahun 1988, saya lihat sepak bola lagi pada tahun 1989. Itu pun bukan siaran langsung. Kayaknya pertandingan Napoli lawan apa gitu.Â
Kemudian Piala Toyota 1989 saya kembali nonton bareng bareng dengan anak-anak dan orangtua. Waktu itu AC Milan melawan Atletico Nacional Kolombia. Milan dijagokan karena memiliki trio Belanda (tak perlu saya sebutkan ya). Tapi di ajang Piala Toyota itu Ruud Gullit absen.
Milan hanya menang 1-0 dengan gol kontroversial karena kiper Atletico Nacional belum siap. Siapa kipernya? Legenda penjaga gawang Kolombia, Rene Higuita.Â
Atletico Nacional juga diperkuat Andres Escobar yang lima tahun setelahnya tewas ditembak usai membuat gol bunuh diri di Piala Dunia 1994. Setelah Piala Toyota 1989 saya kembali nonton sepak bola di tahun 1990 saat piala dunia.
Kala itu, saya bisa nonton piala dunia yang digelar malam hari karena pas libur sekolah. Di ajang Piala Dunia 1990, saya hanya lihat 3 pertandingan yakni Argentina vs Kamerun, Argentina vs Italia, dan satu lagi kalau tidak salah Rumania vs Uni Soviet. Selain itu saya lihat cuplikan cuplikan pertandingan lain  di TVRI. Maka, tengok saja jeda menonton sepak bola, lama sekali kan?
Setelah Piala Dunia 1990, saya dan orang-orang di daerah tak bisa menonton liga paling elite saat itu, Liga Italia. Mungkin hanya warga Jakarta yang bisa menonton karena sudah ada RCTI.Â
Liga Inggris juga disiarkan SCTV, tapi hanya warga Surabaya sepertinya yang bisa menikmatinya. Kalau warga daerah lain seperti saya, liga elite Eropa itu adalah kemewahan. TVRI memang menyiarkan Liga Jerman di tahun 1990 dan 1991 (mungkin karena Jerman Barat juara Piala Dunia 1990).Â
Tapi, sekalipun saya belum berumur 10 tahun, saya tahu bahwa Liga Jerman bukan liga yang ditunggu. Kenapa? Ya karena pemain hebat Jerman seperti Lothar Mattaus, Jurgen Klinsmann, dan Rudi Voeller kan main di Liga Italia.
Saya baru nonton sepak bola siaran langsung lagi pada Euro 1992. Saat itu, hati saya hancur berkeping-keping melihat Belanda kalah adu penalti dari Denmark di semifinal Euro.Â
Dulu saya memang suka dengan Belanda (dan Argentina). Kalau sekarang cukup suka dengan istri saja. Setelah Euro 1992, kualifikasi Piala Dunia 1994 mulai disiarkan TVRI, walaupun bukan siaran langsung hahaha. Saya pernah menunggu sampai dinihari ternyata pertandingannya tak disiarkan langsung, padahal janjinya disiarkan langsung oleh TVRI.Â
Pertandingan itu adalah kualifikasi Piala Dunia 1994 antara Inggris vs Belanda. Laga baru diputar TVRI sehari setelah siaran langsungnya alias siaran tunda. Laga itu berakhir 2-2. Seperti diketahui, pada akhirnya Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994. Oiya, kualifikasi Piala Dunia 1994 itu dilaksanakan di tahun 1992 sampai 1993.
Tahun 1993 RCTI, SCTV, TPI yang malam, sudah masuk ke daerah. Mulai saat itulah liga elite di Eropa bisa saya tonton. Kemudian, rutinitas melihat liga elite Eropa terus saya lakukan, sampai saya akhirnya agak bosan dengan sepak bola.Â
Sekali lagi, agak bosan, bukan bosan. Di akhir dekade 80-an dan awal 90-an adalah masa yang saya alami dan jarang sekali siaran langsung sepak bola. Hal itu mirip mirip dengan saat ini karena wabah corona.
Tapi di zaman dahulu sepak bola tak segemerlap sekarang. Dahulu banyak orang suka sepak bola karena sepak bolanya, bukan karena gemerlapnya.Â
Menurut saya, ada bedanya sepak bola disukai karena sepak bolanya dan sepak bola disukai karena gemerlapnya. Mereka yang suka sepak bola karena sepak bola akan menonton sepak bola apapun. Bahkan, kalau di tempat saya dahulu, ada pertandingan antar kampung, antusiasme warga luar biasa.Â
Habis dari sawah sore hari langsung nongkrong di pinggir lapangan lihat laga antarkampung yang gratis. Mereka yang dari sawah itu teriak dan memberi semangat kegirangan sembari membawa parang. Kalau sekarang mungkin dikira mau tawuran.
Sementara sepak bola disukai karena gemerlapnya adalah hanya menonton sepak bola yang menarik karena industrinya. Ya nonton liga liga Eropa itu. Orang yang gemerlap dengan sepak bola biasanya tak suka nonton laga antarkampung.
Itulah fenomena tahun 90-an awal dengan saat ini. Hampir mirip memang. Dulu sulit melihat sepak bola karena teknologi tak seperti saat ini. Televisi pun hanya TVRI.Â
Dulu kalau ingin mengetahui hasil laga Liga Italia secara lengkap baru bisa diketahui di hari Jumat melalui tabliod BOLA. Padahal laga Liga Italianya sudah dilangsungkan lima hari sebelumnya. Kini, laganya dilangsungkan, bisa dimonitor langsung hasilnya melalui telepon genggam.
Dulu sulit lihat sepak bola karena teknologi dan informasi terbatas. Saat ini tak bisa lihat siaran langsung sepak bola karena corona. Mirip-mirip, seperti perjalanan kereta itu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H