Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Loper Koran Saat Jaya dan Nasib Mereka Kini

17 Maret 2020   02:03 Diperbarui: 17 Maret 2020   02:08 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, sumber foto: tribun kaltim yang dipublikasikan https://banjarmasin.tribunnews.com/

Satu lagi seorang loper yang  saya kenal tapi tak terlalu mendalam. Saya sering membeli koran ke dia tahun 90-an. Saya ingat betul waktu itu, koran cukup laris. Bahkan, saya masih ingat, koran mulai dicari banyak orang ketika era Orde Baru sudah mulai senja. Seingat saya, setelah kasus 27 Juli 1996, banyak orang yang memburu koran untuk mengetahui dinamika politik terbaru.

Di tahun tahun sebelum 1996, koran atau majalah adalah media yang dicari untuk membaca informasi tentang acara televisi. Bahkan, kadang di majalah ada juga sedikit resume acara televisi yang akan disiarkan. Si penjaja koran sambil berkeliling dengan sepeda kadang berkata lantang memberi informasi palsu. "Satria Baja Hitam mati.... Satria Baja Hitam mati...."

Koran zaman itu memang media yang dicari untuk mendapatkan informasi lebih dalam. Sebab, televisi dan radio hanya bisa memberi informasi singat, jelas, dan padat. Zaman itu juga media seperti internet belum terlalu boom.

Loper Masa Kini

Kini, menjadi loper hanya sebagai pekerjaan sampingan untuk mengisi hari. Pagi jualan koran, malam jualan nasi. Ada yang pagi jualan koran, malam jadi security. Saya punya teman yang masih berjualan koran keliling. Namun, ketika mendengar berapa pelanggannya, saya langsung memilih tak mau membahasnya lebih jauh. Pelanggan korannya kini di kisaran 5 sampai 10 orang.

Jika koran beredar 30 hari, keuntungan jualan koran Rp 300, maka berapa uang yang didapatkan dalam satu bulan jika pelanggannya hanya 10 orang? Maka, 300 x 10 x 30. Maka, hasilnya adalah Rp 90 ribu!

Dari beberapa orang yang saya kenal, maka keuntungannya kisaran seperti itu. Ada seorang teman cerita. "Pelanggan koran habis satu di antara alasannya karena satu per satu para pelanggan menua dan meninggal dunia. Anak dan cucu mereka sudah tak mau langganan koran," begitu kira-kira cerita teman saya.

Empat tahun lalu, saya melihat seorang lelaki yang tiap hari menjajakan koran dari satu kampung ke kampung lainnya. Karena area jualannya luas, maka koran pagi baru sampai di pelanggan jam 9 atau 10 pagi. Tapi, lelaki muda ini belakangan sudah tak pernah saya lihat lagi. Ada teman yang mengabariku bahwa lelaki muda itu memilih jualan ice cream. Ya tentu saja jualan ice cream lebih menguntungkan.

Koran perlahan sudah dilupakan. Tapi, dari bisnis media massa itu, level paling bawah seperti loper lah yang kena imbas luar biasa. Apalagi jika si loper ini memang tak punya pekerjaan lain karena bergantung pada pekerjaan loper. Zaman memang bergerak maju luar biasa.

Kadang dalam benak kita hanya meminta agar setiap kita harus adaptif, tanpa melihat realitas bahwa ada orang yang kekurangan secara pendidikan, uang, keahlian, kegagapan teknologi yang luar biasa, yang membuat mereka benar-benar terseret di zaman yang makin maju ini. Lalu, kita dipaksa sibuk memikirkan diri kita sendiri... (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun