Loper koran adalah bagian penting dari bisnis media massa cetak harian. Loper bertugas menjual koran di 'lapangan' atau mengirimkan koran ke pelanggan. Tanpa loper koran, bisnis media massa cetak harian tentu akan mengalami kesulitan.
Namun perubahan teknologi perlahan telah "menghabisi" loper koran. Sebab, pembaca koran sudah beralih ke media online karena lebih mudah dan lebih murah.
Bahkan, karena pola membaca yang berubah, sudah sekitar belasan tahun lalu, ada koran yang menyediakan bentuk epaper agat lebih adaptif pada zaman. Nah, karena situasi seperti itulah peran loper telah terkikis pelan-pelan.
Tulisan ini mencoba berbagi cerita nyata tentang loper di masa lalu dan masa kini. Hanya saja, nama dan beberapa di antara tempat loper beroperasi tak saya sebutkan.
Loper Masa Lalu
Pekerjaan loper koran di masa lalu cukup menggiurkan. Saya mendapatkan cerita dari tetangga yang mantan loper koran di tahun 70-an. Saya sendiri mendapatkan cerita ini kisaran lima tahun lalu, saat si tetangga ini masih sehat. Tahun lalu dia berpulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Si tetangga ini bercerita bahwa dagangannya paling laris jika memberitakan petinju Muhammad Ali. Artinya di masa Muhammad Ali bertanding, entah sebelum atau sesudah laga, maka koran laris manis. Dia bercerita bahwa menjadi loper cukup menguntungkan. Namun karena satu dan lain hal dia memilih pekerjaan lain.
Saat dia memilih banting setir ke pekerjaan lain dan meninggalkan kerjaan loper koran, dia mengaku kecewa. Sebab, di tahun 90-an loper benar-benar jaya karena di tahun itu, pembaca koran makin banyak.
Satu orang teman juga pernah menjadi penjaja koran pada tahun 90-an di Jakarta. Dia melakoni pekerjaan itu di lampu merah di tahun tahun sebelum Reformasi bergulir. Dia bercerita bahwa menjual 20 koran di lampu merah adalah hal yang mudah.
Kala itu, jika sudah bisa menjual 20 koran, dia bisa membeli minuman berkarbonasi dan tembakau yang dibakar itu. Bahkan, dia masih memiliki uang sisa.
Saat itu, untung satu koran di kisaran Rp 200. Uang segitu cukup berarti karena di tahun 90-an, harga-harga tak semelangit sekarang. Teman saya itu, mengaku bisa membeli makanan, menabung dari menjual koran di lampu merah.