Ada dua hal yang coba penulis sampaikan. Dua hal ini adalah dua hal yang berbeda dalam waktu kejadian. Namun, bisa jadi dua hal ini bertalian.
Hal pertama adalah kasus bocah membunuh anak dan kedua adalah soal fungsi orangtua untuk mengawasi anak. Saya bahas hal yang pertama lebih dahulu. Kasus bocah membunuh anak terjadi di Jakarta.Â
Bocah berinisial NF berusia 15 tahun membunuh anak berusia 5 tahun berinisial APA. Setelah melakukan pembunuhan, NF menyerahkan diri ke polisi.
Saya tak ingin membahas kasus ini lebih dalam. Sebab, dengan membaca beritanya saja, membuat kita bisa bingung, pusing, dan sedih kenapa hal itu terjadi. Tapi intinya adalah bahwa ada kasus pembunuhan yang tak umum karena dilakukan bocah pada anak-anak.
Kedua adalah soal orangtua. Ada banyak fakta yang menjelaskan bahwa orangtua dipaksa tak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Saya tak perlu menjelaskan di mana kasus itu terjadi. Silakan tengok kanan kiri masing masing. Yang dimaksud dipaksa tak bisa menjalankan fungsinya adalah begini...
Sang ayah memiliki pendapatan tak seberapa, padahal sudah bekerja 8 jam per hari. Karena itu, dia memutuskan untuk menambah pekerjaan. Satu ketika saya pernah menemui orang seperti ini. Malam dia jadi petugas keamanan, paginya jadi tukang parkir.
Nah, lebih mengenaskan lagi jika banting tulang ayah itu tak mencukupi kebutuhan hidup yang terus melambung. Maka, si ibu pun ikut bekerja, di pabrik misalnya. Kalau sudah seperti itu, bagaimana dengan pengawasan anak? Tentu diserahkan pada orang lain.
Bisa apa tidak dengan meminta agar si ibu tetap di rumah untuk menjalankan fungsinya sebagai ibu. Tentu bisa saja, tapi hitung-hitungan matematis pendapatan si ayah tak bisa mencukupi kebutuhan empat orang di rumah (karena dua memiliki dua anak).
Ada juga karena kebutuhan ekonomi, si ayah memutuskan kerja di luar kota. Lalu, hanya sebulan sekali bertemu dengan si anak. Maka, hubungan antara ayah dan anak tak seintens ketika ayah dan anak hidup dalam satu atap.
Ada juga orang yang sudah berkecukupan, namun sang ibu merasa perlu kerja untuk menaikkan status dan citra. Ini juga bisa jadi masalah karena akhirnya si anak dititipkan pada pembantu.Â
Banyak hal yang kita lihat di samping kita yang sangat tak ideal. Ketika idealisme mengasuh anak tak dilakukan, maka tak sepenuhnya ditimpakan pada orangtua.
Jangan-jangan kita kita ini juga berandil besar memunculkan situasi ketika anak tak bisa mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Jangan jangan kita termasuk orang yang serakah dan mengambil semua yang ada sehingga pihak lain tak kebagian. Imbasnya pihak lain mencari pendapatkan ke sana ke mari.
Atau bisa jadi kita membuat aturan yang memungkinkan kekayaan ditumpuk pada segelintir orang sehingga ada rumah tangga yang sangat kepayahan dan harus putar otak, banting tulang, sampai meninggalkan tugasnya sebagai orangtua.
Atau jangan jangan kita adalah orang yang memvirusi orang lain agar memiliki gengsi yang besar, agar memiliki status yang bagus. Sehingga, orang-orang yang sudah cukup berburu status dan gengsi dengan bekerja dan meninggalkan anak dengan asisten rumah tangga. Hidup itu ruwet dan tak bisa dipandang secara sederhana. Â (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI