Bila isu minoritas selama ini menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan, karena selalu berkaitan dengan (umumnya) diskriminasi di berbagai bidang, maka pembicaraan isu mayoritas juga menarik untuk diperkatakan. Siapa bilang diskriminasi tersebut hanya pada kelompok minoritas saja. Pada kelompok mayoritas, diskriminasi dan ketidakadilan juga terjadi. Tidak selamanya menjadi mayoritas itu meng-enak-kan. Telunjuk kecurigaan selalu dialamtkan pada kelompok mayoritas. Berikut tulisan saya yang beberapa waktu lalu (pernah dipublikasikan di salah satu media.digital) :
Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sejarawan Belanda klasik - va leur - sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.
Sejak lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah (1999 : ixx) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam politik.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam, sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002 : 36), menimbulkan mitos bahwa seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik. Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini, merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.
Sejak lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk "dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu bentuk grand design kelompok-kelompok non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo. Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.
Sejarawan Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai. Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal istilah inferiorityof minority. Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan, akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H