Dari semua fenomena tersebut, ada satu hal yang membedakan gangguan independensi MK Indonesia dibandingkan negara-negara lainnya, yakni perkawinan politik antara Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi. Larangan perkawinan politik memang tidak ditemukan melalui pengaturan yang definitif, namun adanya hubungan semenda antara Ketua Hakim Konstitusi dengan Presiden adalah persoalan etis yang amat serius. Padahal terdapat Peraturan MK Nomor 9/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang bersendikan prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kebersamaan.Â
Empat dari enam prinsip inilah yang dilanggar Anwar Usman, karena hubungan semenda itu mengakibatkan ia bias di hadapan prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, dan kepantasan, sedangkan MK mengemban lima tugas konstitusional yang keseluruhannya bersinggungan dengan kewenangan dan posisi politis Presiden. Hubungan semenda ini seharusnya dapat ditafsirkan sebagai keadaan yang mengakibatkan Anwar Usman berhalangan tetap untuk memenuhi tugasnya sebagai Hakim Konstitusi. Bukankah hukum mengapung di atas lautan etika, sebagaimana petuah Earl Warren?
Bila dirunut ke pangkal, seluruh perundungan politik kepada MK bermula dari mandeknya pengawasan legislatif kepada eksekutif akibat ketimpangan koalisi dan oposisi di DPR. Kemandekan itu merupakan dampak ketentuan Presidential Threshold yang menekan potensi terbentuknya oposisi di parlemen. Ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20% dari perolehan kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional berdasarkan pemilu DPR sebelumnya mengakibatkan partai berlomba membangun koalisi sebesar-besarnya agar dapat mengusung calon Presiden di pemilu berikutnya.Â
Saat ini saja koalisi pemerintah di DPR memenuhi angka 81,91% melawan oposisi yang hanya 18,09%. Koalisi tambun ini menghasilkan politik bagi-bagi kue yang telah membudaya di Indonesia, di mana koalisi pemenang pemilu Presiden akan terus menjadi magnet politik bagi partai-partai yang seharusnya bertahan sebagai oposisi. Maka yang terjadi kemudian adalah sejalannya arah dan tujuan politik legislatif dengan eksekutif, di sinilah lingkaran oligarki politik itu terbentuk dan semakin jauh menjamah independensi MK.
Jika pola ini terjadi terus-menerus di tengah kenyataan MK yang kehilangan nyali membatalkan ketentuan Presidential Threshold, ke depannya dapat dipastikan enam orang Hakim Konstitusi yang diajukan DPR dan Presiden secara langsung merefleksikan kepentingan politik dua lembaga pembentuk undang-undang tersebut. Hal itu tentunya didahului pengerucutan pendapat atas calon-calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan dengan bertumpu pada lobi-lobi politik sebagai instrumen utama. Hasilnya jelas, akuntabilitas dan transparansi pengisian jabatan Hakim Konstitusi berikut independensi MK tinggal utopia belaka.
Distopia ini belum berakhir. Preferensi politik Hakim Konstitusi akan sangat mempengaruhi pembentukan sekaligus kualitas putusan MK, karena oligarki politik telah mengantongi suara mutlak sebanyak 6:3. Itupun setelah berandai-andai jikalau tiga Hakim Konstitusi usulan MA memiliki independensi memadai untuk bertarung melawan arus kuat oligarki yang telah duduk sebagai sel kanker di Majelis Hakim Konstitusi, meski ketiganya dikalahkan berkali-kali. Bilamana distopia ini terjadi, MK tinggal menjadi petugas stempel konstitusional bagi seluruh produk legislasi DPR dan Presiden, sekaligus kantor politisi yang bertugas mengamini seluruh tindakan politik dua lembaga itu.
Di Simpang Jalan
Membincang dinamika MK dapat dilakukan dengan membagi perjalanannya secara periodik di tahun 2003-2013 dan tahun 2014-2023, baik itu dalam hal putusan maupun perangai Hakim Konstitusi.
Pertama, putusan. Dekade pertama MK diwarnai berbagai capaian yang tidak mungkin dilupakan. Misalnya Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang bermula dari permohonan uji materil Undang-Undang Ketenagalistrikan yang meliberalisasi cabang produksi vital. Dalam putusannnya MK menilai terdapat tiga materi yang terbukti inkonstitusional, namun Mahkamah menilai ketiganya merupakan jantung Undang-Undang Ketenagalistrikan.Â
Akibatnya MK membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut dan untuk menghindari kekosongan hukum Mahkamah menyatakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan kembali berlaku sampai Pemerintah dan DPR menyepakati undang-undang baru. Ada juga Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Putusan ini adalah upaya konkret MK melindungi hak konstitusional warga negara yang berhak memilih namun tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP yang masih berlaku atau paspor bagi WNI yang berada di luar negeri.
Pada dekade kedua MK menghadapi konsolidasi oligarki di level berbeda yang begitu mempengaruhi keberaniannya. Hal itu terlihat pada Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 atas uji formil revisi Undang-Undang KPK yang jelas-jelas mengebiri lembaga antirasuah itu. Dari sembilan Hakim Konstitusi, hanya Wahidudin Adams yang mengajukan pendapat berbeda dan menilai adanya persoalan konstitusionalitas dan moralitas serius di balik perubahan Undang-Undang KPK. Lalu Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas pengujian Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan kali pertama MK mengabulkan permohonan uji formil.Â