Mohon tunggu...
Ilham Aufa Rahim
Ilham Aufa Rahim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Lebih baik dikira buruk terbukti baik, daripada dikira baik terbukti bermasalah. ✍🏻

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MK Resmi Menghapus Presidential Threshold

3 Januari 2025   21:12 Diperbarui: 3 Januari 2025   21:12 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Konstitusi (sumber foto: www.mkri.id)

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ketentuan Presidential Threshold sebesar 20% merupakan langkah yang patut diapresiasi. Selama ini, aturan Presidential Threshold dianggap membatasi demokrasi dan menciptakan oligarki politik. Dengan ambang batas yang tinggi, partai-partai kecil sulit mengajukan calon presiden mereka, sehingga hanya partai-partai besar atau koalisi yang memiliki kekuatan finansial dan politik besar yang mendominasi. Penghapusan aturan ini membuka ruang yang lebih luas bagi demokrasi yang inklusif dan kompetitif.

Keputusan ini dapat memberikan peluang bagi calon-calon pemimpin alternatif yang memiliki kompetensi, integritas, dan visi besar untuk bangsa, tanpa harus terkunci pada keterbatasan dukungan politik partai besar. Dalam sistem demokrasi yang sehat, rakyat harus memiliki pilihan yang beragam, bukan hanya terbatas pada kandidat yang diusung oleh elite politik tertentu. Langkah ini mendukung asas "kedaulatan rakyat" sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Presidential Threshold dianggap juga bertentangan dengan UUD 1945 "Norma Pasal 222 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," Kata Hakim MK Suhartoyo. 

Selain itu, penghapusan Presidential Threshold akan mendorong partai-partai politik untuk lebih fokus pada penguatan platform dan ideologi mereka, bukan hanya pada strategi membentuk koalisi pragmatis. Dengan begitu, partai-partai akan lebih berorientasi pada kepentingan rakyat daripada sekadar menjaga kepentingan elite partai. Hal ini juga dapat meminimalisir potensi politik transaksional yang sering terjadi dalam proses pembentukan koalisi.

Tantangan tetap ada. Tanpa Presidential Threshold, jumlah calon presiden bisa meningkat signifikan, sehingga proses pemilu berpotensi menjadi lebih kompleks. "Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra. Untuk mengatasi ini, diperlukan penguatan sistem pemilu yang efektif, termasuk penyederhanaan proses administrasi dan peningkatan kualitas pendidikan politik masyarakat agar mereka dapat memilih dengan bijak.

Secara keseluruhan, penghapusan Presidential Threshold 20% adalah langkah positif untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Keputusan ini harus disertai dengan komitmen semua pihak untuk menjaga pemilu yang jujur, adil, dan bebas dari tekanan. Dengan demikian, demokrasi yang lebih inklusif dan representatif dapat terwujud, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Penulis : Ilham Aufa Rahim (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun