Surabaya - Oposisi yang sehat dan berfungsi adalah salah satu pilar utama dalam demokrasi yang dinamis. Oposisi yang sehat seharusnya memainkan peran penting dalam mengawasi pemerintah, mengkritisi kebijakan, dan menawarkan alternatif yang konstruktif bagi pembangunan negara.
Di Indonesia, sistem politik multipartai memungkinkan adanya berbagai suara dan pandangan yang mewakili keragaman masyarakat. Namun, ketika partai-partai politik itu yang seharusnya terus mengawasi di parlemen, terjebak dalam koalisi yang berlebihan, kritik terhadap pemerintah menjadi tersandera oleh kepentingan koalisi.
Di Indonesia, praktik pembentukan koalisi sering kali melibatkan sebagian besar partai politik bergabung dalam pemerintahan, meninggalkan sedikit ruang bagi oposisi yang efektif. Situasi ini membawa beberapa dampak negatif.
Ketika mayoritas partai politik menjadi bagian dari koalisi, pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah. Pemerintah cenderung tidak menghadapi tantangan yang serius, yang dapat mengarah pada pengambilan kebijakan tanpa pertimbangan yang mendalam dan transparansi yang kurang.
Partai-partai yang tergabung dalam koalisi sering kali tersandera oleh kompromi dan kesepakatan politik, yang membatasi kemampuan mereka untuk mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan ketika kebijakan tersebut merugikan kepentingan publik.
Ketika oposisi tidak berfungsi dengan baik, masyarakat merasa bahwa suara dan kepentingan mereka tidak terwakili dengan baik dalam proses politik. Ini dapat mengarah pada meningkatnya ketidakpuasan dan apatisme terhadap sistem politik.
Dengan sedikitnya partai yang berperan sebagai oposisi, perdebatan kebijakan sering kali menjadi kurang substansial. Ini dapat mengurangi kualitas keputusan politik dan menghambat inovasi dalam kebijakan publik.
Beberapa contoh kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana koalisi yang mendominasi dapat melemahkan oposisi dan membatasi kritik yang konstruktif. Misalnya, dalam beberapa periode pemerintahan, koalisi yang sangat besar telah dibentuk, menyisakan sedikit ruang bagi partai-partai oposisi. Partai-partai yang seharusnya mengawasi pemerintah justru terikat oleh kepentingan koalisi, sehingga kritik internal menjadi terbatas dan kurang efektif.
Contoh konkret lainnya adalah penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menekan kritik terhadap pemerintah. Dalam konteks di mana oposisi formal lemah, individu dan kelompok yang mencoba menyuarakan kritik sering kali menghadapi ancaman hukum, yang lebih lanjut menghambat kebebasan berpendapat dan mengurangi ruang bagi perdebatan publik yang sehat.
Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang seperti UU ITE tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik. Reformasi hukum yang jelas dan perlindungan yang kuat terhadap kebebasan berpendapat sangat penting.