Pilkada 2024 seharusnya menjadi pesta demokrasi yang menggambarkan kematangan bangsa dalam menentukan arah masa depan. Namun, kenyataan di lapangan sering kali bertolak belakang dengan cita-cita luhur demokrasi. Rakyat, yang semestinya menjadi subjek utama dalam menentukan pemimpin, justru terjebak dalam praktik-praktik manipulatif seperti money politic. Dalam kondisi ini, suara bukan lagi cerminan kehendak, melainkan sekadar transaksi murah yang memanfaatkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Demokrasi kita pun kehilangan ruhnya, bergeser dari nilai-nilai keadilan menjadi sekadar panggung politik transaksional.
Money politic adalah luka yang terus-menerus merusak integritas demokrasi. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghancur moralitas kolektif. Para elite politik yang memanfaatkan kelemahan rakyat dengan iming-iming uang atau barang, sesungguhnya sedang memupuk sistem yang rapuh. Ironisnya, rakyat yang menerima sering kali berada dalam dilema: antara kebutuhan hidup yang mendesak dan kesadaran akan masa depan yang lebih baik. Fenomena ini membuktikan bahwa keadilan sosial seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 masih jauh dari jangkauan.
Lebih menyedihkan lagi, rakyat yang dijadikan objek politik kerap kali dilupakan setelah pesta usai. Janji-janji manis kampanye berubah menjadi kenangan pahit ketika para pemimpin terpilih sibuk dengan kepentingan pribadi dan oligarki, alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan pengingkaran terhadap amanah yang telah diberikan. Dalam situasi seperti ini, Pilkada bukan lagi sarana membangun bangsa, melainkan sekadar ritual formalitas yang dipenuhi ambisi kekuasaan.
Namun, masih ada harapan. Pendidikan politik harus menjadi prioritas untuk membangkitkan kesadaran rakyat akan pentingnya memilih pemimpin dengan integritas, bukan sekadar imbalan sesaat. Masyarakat yang cerdas dan kritis adalah benteng terakhir dari demokrasi yang sehat. Pada akhirnya, perubahan tidak hanya bergantung pada elite politik, tetapi juga pada keberanian rakyat untuk berkata "tidak" pada politik uang dan memperjuangkan masa depan yang lebih bermartabat. Demokrasi sejati hanya akan terwujud jika setiap individu memahami nilai suaranya dan menolak menjadi objek eksploitasi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H