Electronic sports atau yang saat ini terkenal dengan sebutan esports, adalah sebuah dunia olahraga yang sedang digemari banyak kalangan, terutama di anak-anak. Konsep dari esports sendiri adalah menjadikan permainan daring atau game online yang kita mainkan menuju ke ranah profesional.
Landasan tersebut membuat game online yang biasanya hanya sebatas untuk bersenang-senang dan mencari teman, berubah drastis menjadi sesuatu yang bersifat profesional. Hal tersebut menjadikan banyak sekali bermunculan tim-tim esports seperti Natus Vincere, OG, Team Secret, Evos, Rex Regum Qeon (RRQ), dan lain-lain.
Dengan semakin besarnya pemain atau user di dalam game online ini membuat beberapa perusahaan atau instansi pemerintah agar menjadikan ladang ini sebagai sebuah langkah terbaik untuk membangun manusia. Kita bisa sebutkan seperti The Internationals di game Dota2, Mobile Legends Campus Championship di game Mobile Legends: Bang Bang, dan Piala Menpora Esports 2020 yang menyelenggarakan turnamen dengan banyak game yang dipertandingkan.
Dunia baru ini juga menjadi ladang bagi para pemain game online untuk bermimpi bermain di ranah profesional. Mimpi tersebut terbangun karena gaji, reputasi, dan tentunya bersenang-senang yang mereka impikan, akan mereka dapatkan jika mereka melangkah ke ranah profesional.
Namun, banyak orang yang bermimpi untuk mencapai ranah profesional ini tidak mengetahui betapa mengerikannya dunia ini. Dunia esports sendiri adalah dunia yang belum terbentuk secara lengkap atau kokoh.
Kita bisa liat banyak sekali kasus pemain pro yang memutuskan untuk meninggalkan ranah tersebut. Bahkan, yang lebih parahnya lagi ada yang harus meninggalkan dunia terlebih dahulu karena hal tersebut. Alasan terbesar mereka adalah psikologis atau kejiwaan mereka terganggu karena ranah tersebut.
Muncul pertanyaan dari banyak orang, "Kok bisa mereka terganggu mental mereka? Bukankah nikmat jika kita bisa bermain game online yang kita senangi dan menghasilkan uang dari hal tersebut?"
Seseorang pasti akan terganggu mental dan kejiwaan mereka ketika terdapat tuntutan atas apa yang mereka senangi. Layaknya bekerja, ketika kita senang dengan pekerjaan tersebut pasti terdapat satu sisi di mana kita akan stress karena kita tidak bisa menikmati pekerjaan tersebut lantaran tekanan dan tuntutan yang besar diberikan kepada kita.
Perasaan tersebut muncul di dunia esports. Sebagai ranah yang baru, para pro player ini berangkat dengan mimpi untuk menghasilkan pundi-pundi uang dari sesuatu hal yang mereka senangi. Akan tetapi, uang tersebut akan menjadi mimpi buruk ke mereka ketika kesenangan mereka tertutupi oleh tekanan dari berbagai pihak.
Perasaan 'have fun' dalam bermain game akan bergeser menjadi stress ketika kita tidak bisa memberikan target yang diinginkan oleh banyak orang.
Oleh karena tersebut, muncul sebuah pertanyaan, "Apakah butuh seorang psikolog dalam ranah profesional esports?". Sangat butuh.
Sepak bola saja butuh yang namanya seorang psikiater agar dapat menjaga mental dan kejiwaan para pemainnya. Pastinya esports pun sebagai dunia baru dalam olahraga membutuhkan hal tersebut.
Akan tetapi, masih banyak orang yang menutup mata akan hal ini. Kasus ini tertutup karena memang tidak ada yang berani berbicara ataupun memang mereka takut untuk membicarakan hal ini. Kesadaran masyarakat mengenai kesehatan jiwa masih sangat kurang apalagi dalam dunia esports.
Pemain pro esports adalah manusia biasa. Mereka pun butuh yang namanya kesehatan jiwa. Kesehatan fisik memang penting. Namun, penyakit adalah sebuah kejadian yang berangkat dari pikiran, mental, dan jiwa seseorang.
Apa menyenangkannya bermain game jika mental terganggu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H