Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Sanskrit (Sanskerta), bahasa yang memainkan peranan sentral dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Asia. Dalam periode ini, aksara Pallava tidak hanya digunakan untuk kegiatan administratif dan ritual keagamaan, tetapi juga menjadi alat penting dalam penyebaran pengetahuan dan nilai-nilai agama ke berbagai wilayah di luar India, termasuk Asia Tenggara dan Nusantara.
Melalui interaksi perdagangan dan misi keagamaan, para pedagang dan pendeta dari India membawa aksara Pallava ke wilayah-wilayah lain di Asia, termasuk ke kepulauan Nusantara. Proses ini menandai fase penting dalam perkembangan budaya di Asia Tenggara, di mana pengaruh India menjadi sangat kuat, terutama dalam konteks agama Hindu-Buddha. Aksara Pallava menjadi medium utama dalam penyebaran ide-ide spiritual, politik, dan sosial dari India ke Asia Tenggara, dan secara bertahap diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lokal untuk menuliskan dokumen-dokumen penting dan prasasti resmi mereka.
Salah satu bukti paling awal dari keberadaan aksara Pallawa di Nusantara adalah Prasasti Mulawarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi ini ditulis dalam bahasa Sanskrit menggunakan aksara Pallava.
Prasasti ini mencatat persembahan Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai kepada para Brahmana, yang menunjukkan bahwa pada masa itu, sudah ada interaksi kuat antara kerajaan lokal dan kebudayaan India. Penggunaan aksara Pallawa pada prasasti ini juga menandakan bahwa bahasa Sanskrit telah menjadi bahasa istana dan ritual keagamaan di Kerajaan Kutai.
Selain di Kalimantan, aksara Pallava juga ditemukan di Jawa Barat melalui Prasasti Tarumanagara, yang merupakan bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Prasasti ini juga ditulis dalam bahasa Sanskrit dengan aksara Pallava, dan mencatat kegiatan Raja Purnawarman, penguasa Tarumanagara, termasuk proyek pembangunan irigasi dan perbaikan sungai.
Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi. Aksara Kawi banyak digunakan dalam prasasti-prasasti kerajaan kuno di Jawa seperti Kerajaan Mataram Kuno, yang memerintah sekitar abad ke-8 hingga ke-10. Salah satu prasasti yang terkenal adalah Prasasti Canggal (732 Masehi), yang ditulis dalam aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta, menandai keberadaan aksara India di Jawa.
Seiring berjalannya waktu, aksara Kawi terus berevolusi menjadi aksara yang lebih sesuai dengan fonologi bahasa Jawa. Pada abad ke-14 hingga ke-15, aksara Kawi mulai berubah menjadi aksara Hanacaraka yang dikenal saat ini. Aksara ini semakin disederhanakan dan digunakan secara luas oleh masyarakat Jawa untuk menulis berbagai teks, termasuk teks keagamaan, kesusastraan, dan sejarah.
Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, aksara Hanacaraka digunakan dalam berbagai teks kesusastraan, naskah keagamaan, serta dokumen resmi kerajaan. Penggunaan aksara ini tercatat dalam karya-karya besar seperti Serat Ramayana dan Serat Pararaton.
Mitologi Aji Saka, Asal Muasal Aksara Hanacaraka
Selain sejarah linguistiknya, aksara Hanacaraka juga memiliki dimensi filosofis dan simbolik yang kuat. Dalam legenda tanah Jawa, aksara hanacaraka terkait erat dengan kisah Aji Saka.
Aji Saka adalah seorang tokoh legendaris, seorang petualang yang datang ke tanah jawa. Menurut legenda, Aji Saka pertama kali tiba di Jawa ketika pulau ini masih berada di bawah kekuasaan raja zalim bernama Prabu Dewata Cengkar, seorang raja kanibal yang memerintah dengan kekejaman di Medang Kamulan (sebuah kerajaan kuno yang disebutkan dalam berbagai sumber Jawa). Prabu Dewata Cengkar sering meminta korban manusia untuk dimakan, sehingga rakyat hidup dalam ketakutan.