Pemikiran Jawa tentang kosmos merupakan sebuah sistem filosofi yang mendalam, mencerminkan pandangan holistik terhadap hubungan antara manusia, alam semesta, dan dimensi spiritual. Tiga tingkatan utama dalam pemikiran ini---Buwono Agung (Makrokosmos), Buwono Alit (Mikrokosmos), dan Buwono Langgeng (Keabadian)---mencerminkan harmoni dan keterkaitan antara aspek lahiriah dan batiniah kehidupan. Berikut adalah pengembangan konsep-konsep tersebut:
1. Buwono Agung (Makrokosmos)
Buwono Agung mencerminkan alam semesta dalam skala besar, yang mencakup dunia fisik, masyarakat, bangsa, hingga negara. Dalam pemikiran Jawa, Buwono Agung adalah manifestasi lahiriah dari kehendak dan keberadaan ilahi. Konsep ini tidak hanya terbatas pada dimensi fisik, tetapi juga mencakup nilai-nilai moral dan spiritual yang mengatur keteraturan kosmik.
- Keterhubungan dengan Tuhan: Buwono Agung dianggap sebagai wujud nyata dari Manunggaling Kawula Gusti, yaitu konsep kesatuan antara manusia dan Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa setiap elemen dalam makrokosmos memiliki tujuan untuk merefleksikan keharmonisan ilahi.
- Keselarasan dengan Alam: Dalam filosofi Jawa, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni di Buwono Agung. Gangguan terhadap alam, seperti kerusakan lingkungan, dianggap dapat mengganggu keseimbangan kosmik, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.
2. Buwono Alit (Mikrokosmos)
Buwono Alit, atau alam semesta kecil, mengacu pada individu dan lingkungan langsungnya, seperti keluarga atau komunitas kecil. Filosofi ini memandang bahwa setiap individu adalah cerminan dari alam semesta besar, sehingga terdapat hubungan erat antara Buwono Alit dan Buwono Agung.
- Tanggung Jawab Individu: Setiap tindakan individu dipercaya memiliki dampak terhadap keseimbangan kosmos secara keseluruhan. Oleh karena itu, filosofi Jawa menekankan pentingnya laku prihatin (pengendalian diri) dan nglakoni (menghidupi nilai-nilai kebajikan).
- Harmoni dalam Hubungan Sosial: Buwono Alit juga mencerminkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dalam keluarga dan komunitas. Nilai seperti rukun (kebersamaan) dan gotong royong menjadi landasan penting untuk menciptakan keseimbangan di tingkat mikrokosmos.
3. Buwono Langgeng (Keabadian)
Buwono Langgeng mengacu pada dimensi keabadian yang melampaui ruang dan waktu. Konsep ini menyoroti bahwa kehidupan tidak bersifat linear, melainkan siklis, yang dikenal dengan istilah Cakramanggilingan atau roda kehidupan. Siklus ini meliputi kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
- Dimensi Lahiriah dan Batiniah: Dalam pandangan Jawa, waktu bukan sekadar penanda peristiwa, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Dimensi lahiriah meliputi aktivitas kehidupan sehari-hari, sementara dimensi batiniah berkaitan dengan pencapaian keseimbangan spiritual.
- Kesadaran akan Siklus Hidup: Kesadaran akan sifat siklis waktu mendorong manusia untuk hidup selaras dengan hukum alam dan spiritual. Filosofi ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kesempurnaan batin, di mana manusia terus belajar dan memperbaiki diri hingga mencapai harmoni dengan Buwono Langgeng.
Ketiga tingkatan kosmos ini saling berhubungan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Buwono Agung memengaruhi Buwono Alit, begitu pula sebaliknya. Keseimbangan di Buwono Agung tercipta jika individu-individu di Buwono Alit mampu menjalani hidup dengan prinsip harmoni dan tanggung jawab. Akhirnya, pencapaian keseimbangan di kedua tingkatan ini akan membawa manusia mendekati Buwono Langgeng, yaitu keabadian spiritual yang merupakan tujuan akhir kehidupan.
Asal Muasal Hanacaraka
Aksara Brahmi merupakan salah satu sistem tulisan paling kuno yang dikenal di dunia dan memiliki peran penting dalam sejarah peradaban Asia. Aksara ini mulai berkembang di India sekitar abad ke-5 SM, dan menjadi fondasi dari banyak aksara di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Sebagai aksara yang pertama kali digunakan secara luas untuk menuliskan bahasa-bahasa Indo-Arya, aksara Brahmi menjadi alat penting dalam penyebaran ajaran agama, budaya, dan administrasi pemerintahan di berbagai kerajaan kuno.
Salah satu bukti sejarah paling awal dan terkenal yang menggunakan aksara Brahmi adalah Maklumat-maklumat Asoka. Maklumat ini terdiri dari serangkaian inskripsi yang dipahat di batu, menggambarkan kebijakan moral dan sosial yang diterapkan oleh Raja Asoka dari Dinasti Maurya, yang memerintah sekitar tahun 268-232 SM.
Inskripsi tersebut ditemukan di berbagai wilayah di India tengah-utara, mencerminkan upaya Raja Asoka dalam menyebarkan ajaran Buddha serta menjaga ketertiban sosial dan keadilan di wilayah kerajaannya.
Di wilayah selatan India, aksara Brahmi mengalami perkembangan menjadi aksara Pallava (atau Pallawa), yang mendapatkan namanya dari Dinasti Pallava, sebuah dinasti besar yang berkuasa di wilayah tersebut dari abad ke-4 hingga abad ke-9 Masehi. Dinasti ini dikenal sebagai salah satu kekuatan politik, budaya, dan agama yang penting di India Selatan, dan aksara Pallava menjadi salah satu warisan penting mereka.