Mohon tunggu...
Ilham Amanah R.K.
Ilham Amanah R.K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM 55523110011 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 8 - Peran Cardinal Virtue Aquinas Pada Pemeriksaan Pasal 17C

5 November 2024   21:31 Diperbarui: 5 November 2024   21:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal Mula dan Perkembangan Cardinal Virtues

Konsep cardinal virtues atau keutamaan kardinal memiliki sejarah panjang yang berakar pada filsafat Yunani kuno, khususnya dari pemikiran Plato dan Aristoteles, serta kemudian berkembang melalui filsafat Kristen oleh teolog seperti Santo Thomas Aquinas. Thomas Aquinas dikenal atas karya besarnya dalam menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan doktrin Kristen, menjadi tokoh penting dalam menyempurnakan pemahaman ini.

Pada mulanya, Plato dalam karyanya "The Republic" menjelaskan keutamaan sebagai aspek-aspek penting dari jiwa manusia dan pemerintahan yang ideal. Menurut Plato, keutamaan kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), pengendalian diri (moderation), dan keadilan (justice) adalah karakteristik yang harus ada dalam individu dan masyarakat yang ideal.

Plato menggambarkan kebijaksanaan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan yang benar, keberanian sebagai kekuatan untuk menghadapi tantangan dan bahaya dengan keteguhan, pengendalian diri sebagai kemampuan untuk mengendalikan nafsu, dan keadilan sebagai keharmonisan ketika setiap bagian jiwa menjalankan fungsinya masing-masing.

Aristoteles, murid Plato, mengembangkan konsep keutamaan lebih lanjut dalam Nicomachean Ethics. Ia memperkenalkan gagasan tentang virtue ethics, di mana keutamaan bukanlah sekadar tindakan baik, tetapi lebih merupakan kebiasaan atau sifat karakter yang diperoleh melalui latihan terus-menerus. Menurut Aristoteles, keutamaan membawa manusia pada eudaimonia, atau kebahagiaan yang sejati dan kehidupan yang bermakna.

Konsep keutamaan ini mulai diintegrasikan ke dalam pemikiran Kristen sejak para filsuf Yunani ini memberikan pengaruh signifikan terhadap tradisi filsafat Kristen awal. Santo Agustinus, salah satu tokoh gereja besar pada abad ke-4, menerima dan mengadaptasi konsep keutamaan ini ke dalam teologinya. Agustinus memandang keutamaan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan moral dan mencerminkan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus.

Dalam pandangan Agustinus, keutamaan kardinal dianggap selaras dengan ajaran Alkitab, meskipun ia juga menambahkan keutamaan teologis---iman, harapan, dan kasih---yang ia pandang sebagai keutamaan yang langsung berasal dari Tuhan. Dengan demikian, Agustinus menempatkan keutamaan kardinal dalam konteks kehidupan Kristen, dan ia menekankan pentingnya keutamaan tersebut dalam pencapaian keselamatan.

Thomas Aquinas menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen dalam karya monumentalnya, "Summa Theologica", dan membangun sistem etika yang menjelaskan hubungan antara akal budi dan iman.

Menurut Aquinas, empat keutamaan kardinal adalah dasar dari kehidupan moral yang baik, dan mereka memainkan peran penting dalam mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kesatuan dengan Tuhan. Aquinas memandang keutamaan kardinal sebagai habitus, yaitu kebiasaan yang terbentuk dari tindakan baik yang berulang-ulang. Ia memandang keutamaan sebagai sifat-sifat yang memungkinkan seseorang mencapai kebaikan manusiawi dan membantu mengarahkan kehendak manusia menuju hal yang benar.

Pemikiran Thomas Aquinas tentang keutamaan kardinal dan teologi moral memberikan pengaruh besar pada tradisi Kristen dan filsafat Barat. Ia berhasil merumuskan sistem etika yang menyatukan antara pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Kristen, menciptakan pendekatan yang menghargai akal budi manusia dalam mencapai moralitas.

Pemikiran Aquinas menjadi dasar bagi etika Kristen selama berabad-abad dan tetap relevan hingga kini, terutama dalam filsafat dan teologi moral Katolik. Konsep keutamaan kardinal ini membantu dalam pembentukan nilai dan karakter yang baik, yang tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan pribadi, tetapi juga dalam pengambilan keputusan sosial, politik, dan hukum. Dalam pemahaman modern, keutamaan kardinal Aquinas diaplikasikan dalam berbagai bidang, termasuk dalam etika profesional dan kepemimpinan.

Cardinal Virtues Aquinas

Empat keutamaan utama yang dirumuskan oleh Aquinas adalah:

  • Bernalar (Prudence) Aquinas menempatkan nalar sebagai keutamaan yang memimpin atau "ratu" dari keutamaan lainnya, karena nalar atau kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengetahui dan memilih tindakan yang benar dalam situasi tertentu. Kebijaksanaan membantu manusia untuk membuat keputusan moral yang tepat dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Aquinas melihat nalar sebagai keutamaan akal budi yang memungkinkan manusia untuk mengevaluasi pilihan-pilihan secara rasional.
  • Keadilan (Justice) Keutamaan keadilan menurut Aquinas adalah memberikan apa yang menjadi hak atau milik seseorang. Keadilan adalah keutamaan yang berfokus pada hubungan antar manusia, dan melibatkan kewajiban untuk memperlakukan orang lain dengan benar. Keadilan adalah fondasi bagi keteraturan dan keseimbangan sosial karena mengatur tindakan individu dalam hubungannya dengan orang lain.
  • Ketabahan/Kesabaran (Fortitude) Ketabahan adalah keutamaan yang membantu manusia menghadapi kesulitan dan tantangan dengan keteguhan hati, tanpa mundur atau menyerah. Aquinas menjelaskan ketabahan sebagai ketahanan terhadap rasa takut yang memungkinkan seseorang untuk tetap berpegang pada apa yang benar, bahkan ketika menghadapi ancaman atau bahaya.
  • Pengendalian Diri/Moderating (Temperance) Pengendalian diri adalah kemampuan untuk mengatur nafsu dan keinginan yang berlebihan, menjaga keseimbangan, dan menghindari godaan yang dapat merusak moralitas seseorang. Aquinas mengajarkan bahwa pengendalian diri membantu manusia menempatkan kepentingan akal di atas hawa nafsu, sehingga kehidupan tetap seimbang dan harmonis.

Pengembalian Pendahuluan dalam Pemeriksaan Pajak

Pasal 17C UU KUP mengatur tentang tata cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yaitu sebuah mekanisme dimana Wajib Pajak dapat memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak mereka (tax return) tanpa melewati proses pemeriksaan lapangan, namun hanya dengan penelitian.

Mekanisme ini hanya diberikan kepada Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu, seperti:

  1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
  2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
  3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
  4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak tertentu untuk memperoleh restitusi dengan lebih cepat, sehingga tidak mengganggu cashflow perusahaan. Berikut adalah tahapan mekanisme pengembalian pendahuluan sesuai Pasal 17C UU KUP dan PMK 39 Tahun 2018 stdtd PMK 209 Tahun 2021:

  1. Pengajuan Permohonan: Wajib Pajak yang ingin mengajukan pengembalian pendahuluan harus memenuhi syarat yang ditentukan. Wajib Pajak yang dapat mengajukan ini biasanya adalah Wajib Pajak yang tergolong patuh (misalnya, Wajib Pajak berbentuk Perseroan Terbatas dengan laporan keuangan yang diaudit dan tidak memiliki utang pajak yang belum dilunasi). Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
  2. Verifikasi Administratif: Setelah pengajuan permohonan, petugas pajak akan melakukan verifikasi administratif. Verifikasi ini bertujuan memastikan bahwa permohonan dan dokumen yang diajukan telah lengkap dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses ini lebih sederhana dan tidak melibatkan pemeriksaan mendalam seperti pada pengembalian pajak biasa.
  3. Penerbitan Surat Keputusan: Jika Wajib Pajak dinilai memenuhi kriteria, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP). Surat keputusan ini menjadi dasar untuk pengembalian dana kelebihan pajak yang diajukan.
  4. Proses Pengembalian Dana: Setelah surat keputusan diterbitkan, DJP akan memproses pengembalian dana ke rekening Wajib Pajak. Pengembalian dana ini dilakukan dengan lebih cepat dibandingkan pengembalian yang melalui pemeriksaan biasa.

Cardinal Virtue dalam Pemeriksaan Pajak

Dalam konteks pemeriksaan pajak, empat keutamaan kardinal yang dijabarkan oleh Thomas Aquinas (prudence, justice, fortitude, dan temperance) mempunyai relevansi yang besar. Cardinal Virtue dapat memberikan semacam tuntunan atau panduan moral yang bagi pemeriksa pajak untuk menjalankan tugasnya dengan baik.

Konsep cardinal virtue inipun tertuang dalam Nilai-Nilai Kementerian Keuangan, yaitu: Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, Kesempurnaan. Berikut adalah penjelasan lebih mendalam tentang masing-masing Cardinal Virtue dalam konteks pemeriksaan pajak.

  • Bernalar (Prudence). Nalar atau kebijaksanaan dalam konteks pemeriksaan, mengacu pada kemampuan pemeriksa untuk membuat keputusan yang cermat berdasarkan penilaian yang matang dan bukti yang tersedia. Pemeriksa harus memiliki ketajaman untuk menganalisis informasi secara kritis, menggunakan data yang ada, dan mengidentifikasi risiko yang relevan. Kebijaksanaan memungkinkan Pemeriksa untuk tidak hanya mengikuti prosedur, tetapi juga memahami tujuan dan implikasi di balik setiap langkah pemeriksaan, sehingga dapat memberikan ketetapan pajak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Contoh: Seorang pemeriksa sedang melakukan pengujian terhadap laporan keuangan wajib pajak. Dalam laporan tersebut terdapat kenaikan signifikan dalam biaya manajemen. Meskipun perusahaan menyajikan dokumen pendukung, pemeriksa memperhatikan bahwa sebagian besar biaya ini berasal dari transaksi dengan perusahaan afiliasi yang dapat menciptakan risiko transfer pricing. Dengan menggunakan nalar, pemeriksa memutuskan untuk melakukan prosedur tambahan guna memastikan bahwa transaksi tersebut mencerminkan prinsip PKKU. Tindakan ini mencerminkan kebijaksanaan pemeriksa dalam mengenali potensi risiko dan tidak menerima begitu saja angka yang disajikan.
  • Keadilan (Justice). Keadilan dalam pemeriksaan pajak berarti memberikan penilaian yang objektif, tidak memihak, dan menghormati hak semua pihak yang berkepentingan, termasuk pemegang saham, pemimpin perusahaan, dan karyawan. Pemeriksa yang adil harus melakukan penugasan mereka tanpa bias atau kepentingan pribadi, memberikan penilaian yang tepat sesuai dengan standar pemeriksaan yang berlaku, dan memastikan bahwa laporan keuangan dan SPT telah mewakili kondisi sebenarnya dari perusahaan.
  • Contoh: Pemeriksa menemukan bahwa terdapat beberapa penghasilan beserta kredit pajak yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan. Setelah dikonfirmasi, ternyata Wajib Pajak memang luput untuk memasukan transaksi tersebut. Berdasarkan prinsip keadilan, pemeriksa akan melakukan koreksi atas penghasilan, namun dengan tetap memperhitungkan kredit pajak yang telah diperoleh Wajib Pajak.
  • Ketabahan (Fortitude). Ketabahan bagi seorang pemeriksa adalah kemampuan untuk tetap teguh dalam menghadapi tekanan atau intimidasi yang mungkin timbul selama proses pemeriksaan, terutama saat menemukan bukti yang mengindikasikan adanya kerugian negara. Keberanian dibutuhkan ketika pemeriksa harus menyampaikan temuan yang mungkin melibatkan pihak-pihak penting. Pemeriksa harus berani untuk menjaga profesionalisme dan bertindak sesuai standar etika.
  • Contoh: Seorang pemeriksa mendapatkan tekanan untuk mengurangi jumlah ketetapan pajak dari salah satu pihak, dengan iming-iming bayaran besar, atau adanya ancaman mutasi. Pemeriksa harus tabah dan tetap menjalankan prosedur sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Pengendalian Diri (Temperance). Pengendalian diri dalam pemeriksaan adalah kemampuan pemeriksa untuk tetap netral, mengendalikan emosi, dan bertindak secara profesional meskipun menghadapi situasi yang sulit. Pengendalian diri juga mencakup pengelolaan potensi konflik kepentingan yang dapat memengaruhi objektivitas pemeriksa. Pemeriksa yang memiliki pengendalian diri kuat tidak akan terpengaruh oleh tekanan eksternal atau preferensi pribadi yang dapat merusak kualitas pemeriksaan.
  • Contoh: Seorang pemeriksa memiliki hubungan baik dengan direktur dari perusahaan yang sedang diperiksa, karena pernah bekerja sama pada sebuah bisnis. Selama pemeriksaan, pemeriksa menemukan beberapa kesalahan dalam pengakuan pendapatan perusahaan. Dengan pengendalian diri, pemeriksa menghindari sikap bias akibat hubungan pribadi dan tetap fokus pada bukti yang ada. Pemeriksa melakukan koreksi dengan objektif, tanpa membiarkan hubungan pribadi mengurangi standar profesional. Selain itu, pengendalian diri membantu pemeriksa untuk tidak terpengaruh oleh tekanan waktu atau tekanan ekonomi yang dapat merusak kualitas pemeriksaan.

Keempat keutamaan ini tidak hanya penting untuk membantu Pemeriksa menjaga profesionalisme, tetapi juga memberikan dasar moral yang kuat untuk tindakan mereka. Dengan mempraktikkan keutamaan-keutamaan ini, pemeriksa dapat memberikan penilaian yang dapat dipercaya, membantu menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung transparansi serta akuntabilitas di mata publik dan pemangku kepentingan.

Sumber: 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun