Awal Mula dan Perkembangan Cardinal Virtues
Konsep cardinal virtues atau keutamaan kardinal memiliki sejarah panjang yang berakar pada filsafat Yunani kuno, khususnya dari pemikiran Plato dan Aristoteles, serta kemudian berkembang melalui filsafat Kristen oleh teolog seperti Santo Thomas Aquinas. Thomas Aquinas dikenal atas karya besarnya dalam menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan doktrin Kristen, menjadi tokoh penting dalam menyempurnakan pemahaman ini.
Pada mulanya, Plato dalam karyanya "The Republic" menjelaskan keutamaan sebagai aspek-aspek penting dari jiwa manusia dan pemerintahan yang ideal. Menurut Plato, keutamaan kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), pengendalian diri (moderation), dan keadilan (justice) adalah karakteristik yang harus ada dalam individu dan masyarakat yang ideal.
Plato menggambarkan kebijaksanaan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan yang benar, keberanian sebagai kekuatan untuk menghadapi tantangan dan bahaya dengan keteguhan, pengendalian diri sebagai kemampuan untuk mengendalikan nafsu, dan keadilan sebagai keharmonisan ketika setiap bagian jiwa menjalankan fungsinya masing-masing.
Aristoteles, murid Plato, mengembangkan konsep keutamaan lebih lanjut dalam Nicomachean Ethics. Ia memperkenalkan gagasan tentang virtue ethics, di mana keutamaan bukanlah sekadar tindakan baik, tetapi lebih merupakan kebiasaan atau sifat karakter yang diperoleh melalui latihan terus-menerus. Menurut Aristoteles, keutamaan membawa manusia pada eudaimonia, atau kebahagiaan yang sejati dan kehidupan yang bermakna.
Konsep keutamaan ini mulai diintegrasikan ke dalam pemikiran Kristen sejak para filsuf Yunani ini memberikan pengaruh signifikan terhadap tradisi filsafat Kristen awal. Santo Agustinus, salah satu tokoh gereja besar pada abad ke-4, menerima dan mengadaptasi konsep keutamaan ini ke dalam teologinya. Agustinus memandang keutamaan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan moral dan mencerminkan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus.
Dalam pandangan Agustinus, keutamaan kardinal dianggap selaras dengan ajaran Alkitab, meskipun ia juga menambahkan keutamaan teologis---iman, harapan, dan kasih---yang ia pandang sebagai keutamaan yang langsung berasal dari Tuhan. Dengan demikian, Agustinus menempatkan keutamaan kardinal dalam konteks kehidupan Kristen, dan ia menekankan pentingnya keutamaan tersebut dalam pencapaian keselamatan.
Thomas Aquinas menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen dalam karya monumentalnya, "Summa Theologica", dan membangun sistem etika yang menjelaskan hubungan antara akal budi dan iman.
Menurut Aquinas, empat keutamaan kardinal adalah dasar dari kehidupan moral yang baik, dan mereka memainkan peran penting dalam mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kesatuan dengan Tuhan. Aquinas memandang keutamaan kardinal sebagai habitus, yaitu kebiasaan yang terbentuk dari tindakan baik yang berulang-ulang. Ia memandang keutamaan sebagai sifat-sifat yang memungkinkan seseorang mencapai kebaikan manusiawi dan membantu mengarahkan kehendak manusia menuju hal yang benar.
Pemikiran Thomas Aquinas tentang keutamaan kardinal dan teologi moral memberikan pengaruh besar pada tradisi Kristen dan filsafat Barat. Ia berhasil merumuskan sistem etika yang menyatukan antara pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Kristen, menciptakan pendekatan yang menghargai akal budi manusia dalam mencapai moralitas.
Pemikiran Aquinas menjadi dasar bagi etika Kristen selama berabad-abad dan tetap relevan hingga kini, terutama dalam filsafat dan teologi moral Katolik. Konsep keutamaan kardinal ini membantu dalam pembentukan nilai dan karakter yang baik, yang tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan pribadi, tetapi juga dalam pengambilan keputusan sosial, politik, dan hukum. Dalam pemahaman modern, keutamaan kardinal Aquinas diaplikasikan dalam berbagai bidang, termasuk dalam etika profesional dan kepemimpinan.