Mohon tunggu...
Ilham Amanah R.K.
Ilham Amanah R.K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM 55523110011 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pemeriksaan Pajak - Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 2 - Pemeriksaan Pajak - Pemeriksaan Pajak dan Pemikiran Gadamer

26 September 2024   07:37 Diperbarui: 26 September 2024   08:07 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: olahan penulis

Semenjak diberlakukannya Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk dapat menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak mereka sendiri, dalam prinsip self assessment. Hal ini tertuang dalam Pasal 12, yang berbunyi:

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.

Sebagai mekanisme check and balance, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pemeriksaan pajak. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013 s.t.d.d PMK 184 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, disebutkan bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain.


Alur pemeriksaan pajak dimulai dengan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) yang disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Panggilan dalam Rangka Pertemuan Sehubungan dengan Pemeriksaan Lapangan.


Di dalam pertemuan tersebut diberikan informasi terkait alasan pemeriksaan, hak dan kewajiban dari wajib pajak, serta tahapan dalam seluruh proses pemeriksaan. Setelah itu, dilakukan proses pemberian keterangan oleh Wajib Pajak/Wakil Wajib Pajak terkait dengan proses bisnis secara umum, dan hal-hal khusus terkait operasi perusahaan yang ingin diketahui oleh pemeriksa.


Berdasarkan pemberian keterangan dalam pertemuan dengan Wajib Pajak, pemeriksa kemudian akan membuat surat permintaan peminjaman dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dalam hal pemeriksaan merupakan pemeriksaan lapangan, pemeriksa akan menjadwalkan pemeriksaan yang dilakukan langsung di tempat kegiatan usaha dari Wajib Pajak.


Setelah seluruh kegiatan pemeriksaan dan pengujian dilakukan, pemeriksa akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Dalam SPHP ini tertuang perbedaan nilai SPT Wajib Pajak dan nilai yang seharusnya dilaporkan menurut pemeriksa.
Wajib Pajak diberikan kesempatan 7 (tujuh) hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh pemeriksa. Setelah jangka waktu pemberian tanggapan habis, pemeriksa akan mengirimkan undangan pembahasan akhir kepada Wajib Pajak. Dalam pembahasan akhir ini akan dilakukan diskusi atas seluruh hasil pemeriksaan, baik dari sisi pemeriksa, maupun sisi wajib pajak.


Ada banyak dinamika yang mungkin terjadi dalam proses pembahasan akhir. Jika Wajib Pajak ragu-ragu atas penafsiran dasar hukum yang digunakan oleh pemeriksa, Wajib Pajak dapat mengajukan proses Quality Assurance. Namun jika Wajib Pajak tidak menyetujui hal-hal material dalam pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, hingga peninjauan kembali.

Hans-Georg Gadamer dan Hermeneutika

Hermeneutika merupakan disiplin ilmu tentang penafsiran teks. Awalnya istilah hermeneutika digunakan pada upaya memahami kitab-kitab suci dalam konteks agama. Seiring dengan berjalannya waktu, disiplin ini berkembang menjadi alat yang digunakan untuk menafsirkan berbagai jenis teks, termasuk teks sastra, hukum, dan bahkan simbol-simbol budaya. Hermeneutika tidak hanya menjadi metode akademik, tetapi juga berperan sebagai pendekatan filosofis untuk memahami makna dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Perkembangan ini menunjukkan fleksibilitas hermeneutika dalam menjelaskan berbagai fenomena yang melibatkan penafsiran, baik di ranah teks tertulis maupun dalam situasi sosial yang lebih kompleks.


Salah satu tokoh terkemuka dalam pengembangan hermeneutika pada abad ke-20 adalah Hans-Georg Gadamer. Melalui karya utamanya, Truth and Method (2004), Gadamer memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami proses penafsiran. Gadamer berpendapat bahwa pemahaman tidak pernah bisa sepenuhnya objektif, karena setiap penafsir selalu membawa prasangka dan pengalaman hidup yang mempengaruhi cara mereka memahami suatu objek atau teks. Ini berarti, interpretasi tidak hanya dipengaruhi oleh objek yang sedang ditafsirkan, tetapi juga oleh subjek yang menafsirkan. Oleh karena itu, pemahaman adalah proses yang dialogis, di mana interaksi antara subjek (penafsir) dan objek (teks atau fenomena yang ditafsirkan) selalu terlibat dalam dinamika yang saling memengaruhi.


Dalam pandangan Gadamer, setiap penafsir memiliki apa yang disebut historical horizon atau horizon historis, yang merujuk pada kumpulan pengalaman, pengetahuan, dan prasangka yang dimiliki individu. Horizon ini membentuk cara seseorang melihat dan memahami dunia. Ketika seseorang mencoba memahami teks atau situasi tertentu, mereka tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari horizon ini. Namun, Gadamer tidak menganggap prasangka sebagai penghalang pemahaman, melainkan sebagai bagian integral dari proses pemahaman itu sendiri. Prasangka adalah titik awal yang membantu penafsir terlibat dengan objek yang ditafsirkan.


Proses pemahaman menurut Gadamer bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan berlangsung melalui dialog antara horizon penafsir dan horizon teks atau objek yang sedang ditafsirkan. Dialog ini menciptakan kemungkinan terjadinya fusion of horizons, yaitu ketika horizon penafsir dan objek saling berinteraksi dan menciptakan pemahaman baru yang lebih mendalam. Fusi horizon bukan berarti penghapusan prasangka atau horizon historis penafsir, melainkan penyatuan perspektif yang berbeda untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh. Dengan cara ini, proses pemahaman menjadi lebih kaya dan komprehensif.


Dengan pendekatan hermeneutika Gadamer, kita dapat melihat bahwa proses pemahaman tidak pernah bersifat linier atau sepenuhnya objektif. Sebaliknya, pemahaman selalu melibatkan unsur dialogis dan dinamis, di mana penafsir dan objek yang ditafsirkan saling memengaruhi satu sama lain. Dalam konteks sosial yang kompleks, seperti pemeriksaan pajak, hermeneutika membantu kita memahami bahwa proses interpretasi melibatkan lebih dari sekadar penerapan aturan secara mekanis, tetapi juga mencakup dinamika interaksi antar manusia yang dipengaruhi oleh pengalaman, prasangka, dan horizon historis mereka masing-masing.
Implementasi Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Pemeriksaan Pajak


Gadamer menekankan bahwa pemahaman bukanlah sesuatu yang statis dan sepihak, melainkan sebuah dialog yang berlangsung antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Dalam konteks pemeriksaan pajak, pemeriksa dan wajib pajak berinteraksi melalui pemberian keterangan, penyerahan dokumen-dokumen, laporan, dan pernyataan tertulis. Seluruh proses pemeriksaan dapat dianggap sebagai bentuk dialog di mana pemeriksa berusaha memahami Surat Pemberitahuan Terutang (SPT) yang dilaporkan oleh wajib pajak.
Pemahaman pemeriksa tentang transaksi keuangan tidak bisa lepas dari horizon historis (pengalaman, pengetahuan, dan prasangka) yang dimiliki oleh pemeriksa itu sendiri. Mereka memiliki "prejudice" atau anggapan awal terhadap laporan yang diperiksa, misalnya kecurigaan bahwa ada ketidaksesuaian, kesalahan yang disengaja, atau kecurangan dalam penghitungan pajak. Namun dialog yang terbuka antara pemeriksa dan Wajib Pajak menjadi sangat penting untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang situasi perpajakan yang dihadapi (Caprirolo, 2014).


Seringkali, pemeriksaan pajak menghasilkan sengketa di mana wajib pajak merasa bahwa otoritas pajak telah salah memahami atau menerapkan peraturan perpajakan. Dalam situasi ini, proses penyelesaian sengketa dapat dilihat sebagai sebuah usaha untuk menciptakan fusion of horizons, di mana perspektif otoritas pajak dan wajib pajak harus digabungkan atau setidaknya dipertemukan untuk mencapai penyelesaian yang adil. Proses ini sering melibatkan proses keberatan, banding, dan peninjauan kembali, yang semuanya dapat dilihat sebagai bentuk dialog hermeneutik di mana kedua belah pihak berusaha mencapai kesepahaman bersama tentang situasi perpajakan yang sedang dihadapi.

Hermeneutika dan Penafsiran Hukum Pajak

Hukum pajak seringkali tidak hitam putih; ada area abu-abu yang memerlukan penafsiran yang hati-hati oleh pemeriksa maupun wajib pajak. Dalam konteks ini, pendekatan hermeneutik Gadamer bisa sangat relevan. Misalnya, bagaimana suatu ketentuan pajak ditafsirkan tidak selalu objektif dan dapat berubah tergantung pada konteks atau cara pandang pemeriksa. Proses interpretasi ini bisa dipengaruhi oleh horizon historis dari pemeriksa dan wajib pajak, serta dialog yang terbentuk di antara mereka selama proses pemeriksaan. Misalnya, pemeriksa mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang bagaimana suatu peraturan perpajakan diterapkan pada kasus tertentu, dan pemahaman ini mungkin berubah ketika mereka terlibat dalam dialog dengan wajib pajak yang memberi pandangan berbeda. Wajib Pajak juga dapat mengajukan proses Quality Assurance jika merasa pemeriksa tidak tepat dalam menggunakan ataupun menafsirkan suatu aturan perpajakan.

Kesimpulan

Hans-Georg Gadamer memberikan kerangka filosofis untuk memahami proses pemahaman manusia sebagai sesuatu yang dialogis, dinamis, dan dipengaruhi oleh prasangka. Konsep-konsep dialogis ini ini dapat diterapkan dalam konteks proses pemeriksaan pajak. Proses pemeriksaan pajak, dengan segala kompleksitasnya, bukanlah semata-mata urusan teknis tentang angka dan dokumen, melainkan juga melibatkan interaksi antara manusia dan penafsiran atas data dan aturan hukum. Pemahaman pemeriksa tentang laporan pajak, serta cara wajib pajak menanggapi pemeriksaan, semuanya merupakan bagian dari sebuah dialog yang dipengaruhi oleh prasangka, pengalaman, dan horizon historis masing-masing pihak.


Dengan menerapkan pendekatan hermeneutik Gadamer, kita bisa melihat bahwa proses pemeriksaan pajak lebih dari sekadar pemeriksaan mekanis; ini adalah bentuk komunikasi yang melibatkan interaksi antara otoritas dan wajib pajak untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang situasi perpajakan yang kompleks.

Referensi

  • Caprirolo, M. (2014). Hermeneutics in Tax Disputes: Understanding the Role of the Taxpayer and the Tax Authority. International Journal of Law and Jurisprudence, 12(3), 289-305.
  • Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013. Pemeriksaan Pajak. Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  • Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2015. Penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemeriksaan. Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  • Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun