Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Cryptocurrency Pilihan

Bisakah Cryptocurrency Menyelamatkan Ekonomi Negara Berkembang?

21 November 2024   17:32 Diperbarui: 21 November 2024   17:44 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapan Baru atau Sekadar Hype?

Di banyak negara berkembang, lebih dari 1,7 miliar orang masih hidup tanpa akses ke layanan perbankan dasar. Sementara itu, inflasi yang tidak terkendali dan nilai tukar mata uang yang fluktuatif terus menggerus daya beli masyarakat. Namun, di tengah tantangan tersebut, cryptocurrency muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Dengan teknologi blockchain sebagai pondasi, Bitcoin, Ethereum, dan stablecoin telah menarik perhatian dunia sebagai solusi potensial untuk mengatasi ketimpangan finansial.

Apakah cryptocurrency benar-benar dapat menyelamatkan ekonomi negara berkembang, atau hanya menjadi hype teknologi tanpa dampak nyata? Artikel ini akan mengeksplorasi peluang, tantangan, dan dampak potensial dari cryptocurrency di negara-negara yang paling membutuhkan inovasi keuangan.

Mengapa Cryptocurrency Relevan di Negara Berkembang?

Cryptocurrency pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009 dengan peluncuran Bitcoin, sebuah sistem pembayaran digital yang tidak memerlukan perantara seperti bank. Ide dasarnya adalah menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif dan desentralisasi. Bagi negara maju, cryptocurrency sering dianggap sebagai instrumen investasi atau spekulasi. Namun, bagi negara berkembang, teknologi ini memiliki potensi yang jauh lebih besar.

Menurut laporan Chainalysis 2023, negara-negara berkembang seperti Nigeria, Kenya, dan Filipina berada di puncak adopsi cryptocurrency global. Fenomena ini tidak lepas dari kebutuhan mendesak akan solusi keuangan yang lebih cepat, murah, dan aman. Remittance (pengiriman uang lintas negara) yang biasanya dikenakan biaya tinggi oleh bank tradisional, kini dapat dilakukan dengan biaya minimal menggunakan stablecoin seperti USDT atau Bitcoin.

Namun, meskipun menjanjikan, adopsi cryptocurrency di negara berkembang menghadapi berbagai hambatan, mulai dari regulasi yang belum jelas hingga rendahnya literasi digital. Untuk memahami dampaknya, kita perlu melihat lebih dalam pada masalah, solusi, dan prospek masa depan teknologi ini.

Bisakah Crypto Menjadi Solusi?

Ketimpangan Keuangan dan Inflasi

Di banyak negara berkembang, sistem perbankan tradisional sering kali tidak dapat menjangkau masyarakat kelas bawah. Akses terbatas ke layanan finansial, biaya tinggi, dan ketidakstabilan ekonomi menjadi kendala utama.

  • Ketimpangan Finansial: Banyak orang di negara berkembang tidak memiliki rekening bank, sehingga sulit mengakses pinjaman, tabungan, atau layanan keuangan lainnya.
  • Inflasi Ekstrim: Di Venezuela, misalnya, inflasi mencapai lebih dari 1 juta persen pada puncaknya, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan pada mata uang lokal. Cryptocurrency, terutama Bitcoin, mulai digunakan sebagai alternatif penyimpan nilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cryptocurrency Selengkapnya
Lihat Cryptocurrency Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun