Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Anomali Mayoritas Pemilih Indonesia: Mengapa Kompetensi dan Integritas Pemimpin Tidak Lagi Menjadi Prioritas?

19 Oktober 2024   17:13 Diperbarui: 19 Oktober 2024   17:14 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Pengaruh Media Sosial yang Meningkatkan Polarisasi Pemilih

Media sosial juga membawa dampak yang lebih luas, yaitu menciptakan polarisasi di antara pemilih. Informasi yang beredar di media sosial cenderung diperkuat oleh algoritma, yang hanya menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna. Ini menciptakan bubble filter, di mana pemilih hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, tanpa membuka ruang untuk penilaian yang objektif dan rasional terhadap calon pemimpin lainnya.

Kampanye hitam dan misinformasi sering kali menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Akibatnya, pemilih terjebak dalam narasi negatif yang tidak sepenuhnya berdasarkan fakta, tetapi lebih kepada sentimen emosional. Studi oleh Przeworski (2019) menunjukkan bahwa pemilih yang hanya terpapar pada informasi tertentu cenderung lebih sulit untuk berubah pikiran, meskipun diberikan bukti nyata mengenai kualitas seorang kandidat (Przeworski, A. (2019). Democracy and the Limits of Self-Government).

5. Dampak dari Pemilihan yang Tidak Objektif: Pemerintahan yang Rentan Gagal

Pemilihan yang didasarkan pada faktor-faktor non objektif memiliki dampak yang serius terhadap kualitas pemerintahan di Indonesia. Pemimpin yang terpilih berdasarkan popularitas atau politik uang sering kali tidak memiliki kompetensi untuk memimpin dengan baik, yang akhirnya berujung pada pemerintahan yang tidak efektif.

Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Pemimpin yang dipilih melalui praktik politik uang cenderung lebih mudah terjebak dalam korupsi. Mereka merasa harus membayar kembali biaya kampanye yang mahal, dan ini membuka peluang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Laporan KPK (2023) menunjukkan bahwa sebagian besar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi adalah mereka yang menggunakan politik uang dalam kampanye (KPK, 2023. Laporan Kasus Korupsi Kepala Daerah).

Menurunnya Kepercayaan Publik

Selain itu, pemimpin yang terpilih tanpa kompetensi cenderung mengecewakan harapan pemilih. Ketika janji-janji kampanye tidak terpenuhi, kepercayaan publik terhadap pemerintahan akan menurun. Hal ini berisiko mengurangi partisipasi politik di pemilu berikutnya, di mana pemilih merasa bahwa suara mereka tidak memiliki dampak signifikan.

Membangun Kesadaran dan Pendidikan Politik

Untuk mengatasi anomali ini, pendidikan politik menjadi kunci utama. Pemilih harus diajarkan bagaimana menilai kualitas seorang pemimpin berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan integritas. Ini bisa dilakukan melalui program pendidikan politik sejak dini di sekolah-sekolah, serta melalui kampanye edukasi yang melibatkan masyarakat umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun