Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mengalami kemajuan pesat dalam hal demokrasi, dengan pemilihan langsung untuk presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota. Namun, terlepas dari perkembangan ini, ada fenomena yang cukup mengkhawatirkan: pemilih sering kali tidak memilih calon pemimpin berdasarkan kompetensi dan integritas. Dalam banyak kasus, faktor non objektif seperti popularitas, hubungan politik, bahkan uang, lebih dominan dalam menentukan pilihan pemilih.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa pemilih di Indonesia, yang seharusnya memiliki hak suara untuk memilih pemimpin terbaik, justru lebih sering memilih berdasarkan faktor-faktor yang tidak substansial? Artikel ini akan membahas secara mendalam anomali ini, menggali penyebab, dan menawarkan solusi untuk membangun kesadaran politik yang lebih baik di masa depan.
Fenomena Pemilihan Berdasarkan Hal yang Tidak Objektif
Pemilihan pemimpin yang tidak didasarkan pada kompetensi atau integritas calon pemimpin bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Fenomena ini sudah terjadi sejak pemilu pertama, dan hingga saat ini masih menjadi tantangan besar dalam menjaga kualitas demokrasi.
Salah satu alasan utamanya adalah pengaruh media. Media, terutama media sosial, memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Kandidat yang tampil menarik di media sosial, yang sering berinteraksi dengan publik melalui platform digital, cenderung lebih dikenal oleh pemilih. Akibatnya, popularitas menjadi faktor penentu yang lebih kuat daripada rekam jejak, visi, atau kompetensi kandidat.
Studi oleh Tapsell (2020) menunjukkan bahwa popularitas di media sosial mempengaruhi 70% dari keputusan pemilih di berbagai pemilu di Indonesia. Media sosial memungkinkan calon pemimpin membentuk citra yang diinginkan dengan mudah, meskipun kadang tidak selalu mencerminkan kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya (Tapsell, R. (2020). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution).
Politik Uang: Praktik yang Masih Kuat Mempengaruhi Pilihan
Politik uang adalah realitas yang sulit dihindari dalam pemilu Indonesia. Dalam beberapa kasus, pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh janji kampanye, tetapi juga oleh uang tunai, hadiah, atau barang yang diberikan langsung menjelang hari pemilihan. Meski praktik ini melanggar hukum, banyak pemilih yang melihatnya sebagai hal biasa. Bahkan di beberapa daerah, politik uang dianggap sebagai "hak" pemilih karena mereka merasa sudah memberikan suara dan berhak mendapatkan imbalan.