Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara berkembang lainnya. Namun, Indonesia memiliki tantangan tersendiri karena tingginya tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang membuat banyak orang lebih rentan terhadap politik uang. Penelitian Muhtadi (2018) menunjukkan bahwa pemilih di daerah pedesaan atau berpenghasilan rendah lebih mudah dipengaruhi oleh politik uang karena alasan ekonomi (Muhtadi, B. (2018). Vote Buying in Indonesia: The Mechanisms and Effects of Clientelism).
Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga berkontribusi terhadap maraknya praktik politik uang. Dalam beberapa kasus, meskipun ada bukti kuat tentang keterlibatan calon dalam politik uang, sanksi yang diberikan tidak setimpal atau bahkan tidak ada. Hal ini memperkuat persepsi bahwa politik uang adalah bagian dari budaya politik yang tidak bisa dihindari.
Mengapa Pemilih Bisa Memilih Berdasarkan Faktor Non Objektif?
Untuk memahami mengapa pemilih di Indonesia sering memilih berdasarkan faktor-faktor yang tidak objektif, kita harus melihat lebih dekat beberapa aspek kunci:
1. Politik Uang sebagai Solusi Praktis
Bagi banyak pemilih, politik uang menawarkan manfaat praktis yang langsung terasa. Meskipun banyak pemilih yang mengetahui bahwa politik uang adalah tindakan tidak etis, mereka merasa bahwa imbalan material yang diberikan adalah satu-satunya manfaat konkret yang bisa didapatkan dari pemilu. Ini terjadi terutama di daerah-daerah yang minim pendidikan politik dan mengalami kesulitan ekonomi.
2. Kekuatan Citra di Media Sosial
Seperti yang telah dibahas, media sosial memiliki peran yang signifikan dalam membentuk persepsi pemilih. Kandidat yang memiliki pengikut besar atau mampu menghasilkan konten viral sering kali dianggap lebih menarik oleh pemilih, meskipun rekam jejak atau kompetensinya tidak pernah diteliti lebih lanjut. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media sosial, yang seharusnya digunakan untuk mendidik dan menyebarkan informasi yang tepat, justru lebih banyak digunakan sebagai alat manipulasi citra.
3. Ketergantungan pada Identitas Kolektif
Banyak pemilih di Indonesia yang memilih pemimpin berdasarkan identitas kolektif seperti afiliasi agama, etnis, atau hubungan kekerabatan. Di beberapa daerah, calon pemimpin yang berasal dari suku yang sama atau memiliki afiliasi keagamaan yang sama dengan pemilih sering kali lebih dipilih tanpa memperhatikan kompetensinya. Ini menunjukkan bahwa faktor emosional sering kali lebih dominan daripada penilaian objektif dalam proses pemilihan.