Perilaku Menyimpang Karyawan: Ketika Work-Life Balance Menjadi Alasan Produktivitas Menurun
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah work-life balance telah menjadi konsep yang sangat diperjuangkan di dunia kerja modern. Banyak perusahaan mulai mengadopsi kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Tujuannya adalah untuk menjaga kesejahteraan karyawan serta mencegah burnout. Namun, di balik implementasi kebijakan ini, terdapat fenomena yang lebih kompleks: penyalahgunaan konsep work-life balance sebagai alasan untuk tidak memenuhi tanggung jawab dengan baik, atau lebih dikenal sebagai "perilaku menyimpang karyawan."
Fenomena ini, di mana karyawan menggunakan alasan "tekanan kerja" atau "keseimbangan hidup" untuk menutupi penurunan kinerja, semakin menjadi perhatian dalam beberapa studi tentang manajemen sumber daya manusia. Penelitian yang diterbitkan oleh Serenko (2024) menunjukkan bahwa perilaku seperti ini telah ada selama beberapa dekade, meskipun istilah-istilah seperti quiet quitting baru populer belakangan ini(emerald).
Work-Life Balance: Mencari Keseimbangan atau Pembenaran?
Pada awalnya, work-life balance merupakan respons terhadap kebutuhan yang sah dari karyawan untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang mampu menjaga keseimbangan ini cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan produktivitas yang lebih stabil. Sebagai contoh, menurut Cowart, Gilley, dan Avery (2014), keseimbangan kerja yang baik berkaitan erat dengan peningkatan keterlibatan karyawan dan berkurangnya turnover(researchgate).
Namun, beberapa karyawan menggunakan istilah ini untuk menutupi perilaku tidak produktif atau "malas-malasan." Karyawan semacam ini sering kali enggan mengambil tanggung jawab tambahan atau menolak bekerja lebih keras dengan dalih menjaga work-life balance. Fenomena ini sering terlihat dalam bentuk quiet quitting, di mana karyawan hanya melakukan pekerjaan minimal sesuai deskripsi jabatan tanpa berusaha lebih(emerald).
Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Quiet quitting bukan satu-satunya bentuk perilaku menyimpang yang bersembunyi di balik istilah work-life balance. Ada beberapa perilaku lain yang menunjukkan bagaimana karyawan menghindari tanggung jawab:
Malas-malasan dan Penundaan Kerja
Beberapa karyawan memilih untuk menghindari proyek atau pekerjaan yang menantang dengan alasan bahwa beban kerja tambahan akan merusak keseimbangan kehidupan mereka. Dalam banyak kasus, alasan ini lebih bersifat subjektif daripada berbasis pada kondisi nyata. Karyawan yang mengalami manajemen waktu buruk juga sering menggunakan alasan ini sebagai pembenaran atas kinerja yang buruk(emerald).Penggunaan Waktu yang Tidak Efisien
Waktu kerja sering kali dihabiskan untuk kegiatan yang tidak produktif seperti menggunakan media sosial, berselancar di internet, atau melakukan aktivitas pribadi. Ketika ditantang tentang efisiensi waktu, mereka menyalahkan stres kerja yang mengharuskan mereka untuk "mengambil jeda"(emerald).Tekanan Kerja Sebagai Alasan untuk Tidak Mengembangkan Diri
Studi tentang manajemen karyawan menemukan bahwa tekanan kerja sering kali digunakan sebagai alasan untuk menolak pengembangan keterampilan atau mengambil proyek tambahan(springer). Karyawan yang tidak memiliki motivasi intrinsik untuk berkembang cenderung menolak tantangan baru dengan alasan "keseimbangan hidup."
Tekanan Kerja Nyata atau Alasan untuk Menutupi Kinerja Buruk?
Tidak semua karyawan yang berbicara tentang tekanan kerja atau work-life balance memiliki niat buruk. Banyak dari mereka yang memang mengalami tekanan kerja nyata yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Burnout merupakan masalah serius di tempat kerja modern, dengan banyak penelitian menunjukkan bahwa stres kerja yang berkelanjutan dapat mengarah pada penurunan produktivitas, absensi tinggi, dan turnover karyawan(springer).
Namun, ada pula sebagian karyawan yang menggunakan tekanan kerja sebagai tameng untuk menutupi perilaku disengagement di tempat kerja. Quiet quitting adalah contoh paling umum, di mana karyawan sengaja membatasi keterlibatan mereka hanya pada tugas minimum yang diharapkan, sambil menghindari usaha ekstra. Menurut Serenko (2024), fenomena ini menunjukkan bahwa beberapa karyawan merasa tidak termotivasi untuk berkontribusi lebih karena adanya ketidakpuasan dengan manajemen atau sistem kompensasi(emerald).
Menciptakan Keseimbangan yang Sehat
Perusahaan perlu menemukan keseimbangan antara mendukung kesejahteraan karyawan dan memastikan bahwa produktivitas tetap terjaga. Keseimbangan ini bisa dicapai melalui beberapa pendekatan berikut:
Pelatihan Manajemen Waktu dan Pengelolaan Stres
Banyak karyawan yang menggunakan alasan work-life balance sebenarnya mengalami masalah dalam manajemen waktu. Pelatihan yang memberikan keterampilan untuk mengelola waktu lebih baik dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif tanpa mengorbankan keseimbangan kehidupan mereka.Pengawasan Kinerja yang Lebih Terarah
Feedback yang teratur dan transparan sangat penting untuk mengidentifikasi jika ada penurunan kinerja yang diakibatkan oleh disengagement atau perilaku quiet quitting. Karyawan yang merasa diabaikan dalam feedback sering kali mengalami penurunan motivasi.Fleksibilitas yang Disertai Akuntabilitas
Perusahaan harus menerapkan fleksibilitas kerja yang disertai dengan akuntabilitas yang jelas. Karyawan dapat diberikan kebebasan untuk mengatur waktu kerja mereka, tetapi tetap harus memenuhi target dan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Hal ini mendorong keseimbangan yang sehat tanpa mengurangi produktivitas.Kompensasi yang Adil untuk Tanggung Jawab Tambahan
Perusahaan juga harus memberikan kompensasi yang adil bagi karyawan yang mengambil tanggung jawab tambahan. Menurut penelitian, salah satu penyebab quiet quitting adalah perasaan bahwa kerja ekstra tidak dihargai dengan kompensasi yang memadai.
Keseimbangan yang Seimbang
Kebijakan work-life balance memang diperlukan untuk mendukung kesejahteraan karyawan, tetapi perusahaan perlu mewaspadai potensi penyalahgunaannya. Ketika keseimbangan ini menjadi alasan untuk menghindari tanggung jawab, perusahaan harus lebih proaktif dalam mengelola karyawan. Pelatihan, feedback yang tepat, dan kompensasi yang layak bisa menjadi solusi untuk menciptakan keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan.
Ayo Berdiskusi!Bagaimana menurut Anda? Apakah work-life balance sering disalahgunakan di tempat kerja? Apakah perusahaan Anda memiliki strategi yang tepat untuk menjaga produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan karyawan? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan mari berdiskusi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H