Quiet quitting bukan satu-satunya bentuk perilaku menyimpang yang bersembunyi di balik istilah work-life balance. Ada beberapa perilaku lain yang menunjukkan bagaimana karyawan menghindari tanggung jawab:
Malas-malasan dan Penundaan Kerja
Beberapa karyawan memilih untuk menghindari proyek atau pekerjaan yang menantang dengan alasan bahwa beban kerja tambahan akan merusak keseimbangan kehidupan mereka. Dalam banyak kasus, alasan ini lebih bersifat subjektif daripada berbasis pada kondisi nyata. Karyawan yang mengalami manajemen waktu buruk juga sering menggunakan alasan ini sebagai pembenaran atas kinerja yang buruk(emerald).Penggunaan Waktu yang Tidak Efisien
Waktu kerja sering kali dihabiskan untuk kegiatan yang tidak produktif seperti menggunakan media sosial, berselancar di internet, atau melakukan aktivitas pribadi. Ketika ditantang tentang efisiensi waktu, mereka menyalahkan stres kerja yang mengharuskan mereka untuk "mengambil jeda"(emerald).-
Tekanan Kerja Sebagai Alasan untuk Tidak Mengembangkan Diri
Studi tentang manajemen karyawan menemukan bahwa tekanan kerja sering kali digunakan sebagai alasan untuk menolak pengembangan keterampilan atau mengambil proyek tambahan(springer). Karyawan yang tidak memiliki motivasi intrinsik untuk berkembang cenderung menolak tantangan baru dengan alasan "keseimbangan hidup."
Tekanan Kerja Nyata atau Alasan untuk Menutupi Kinerja Buruk?
Tidak semua karyawan yang berbicara tentang tekanan kerja atau work-life balance memiliki niat buruk. Banyak dari mereka yang memang mengalami tekanan kerja nyata yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Burnout merupakan masalah serius di tempat kerja modern, dengan banyak penelitian menunjukkan bahwa stres kerja yang berkelanjutan dapat mengarah pada penurunan produktivitas, absensi tinggi, dan turnover karyawan(springer).
Namun, ada pula sebagian karyawan yang menggunakan tekanan kerja sebagai tameng untuk menutupi perilaku disengagement di tempat kerja. Quiet quitting adalah contoh paling umum, di mana karyawan sengaja membatasi keterlibatan mereka hanya pada tugas minimum yang diharapkan, sambil menghindari usaha ekstra. Menurut Serenko (2024), fenomena ini menunjukkan bahwa beberapa karyawan merasa tidak termotivasi untuk berkontribusi lebih karena adanya ketidakpuasan dengan manajemen atau sistem kompensasi(emerald).
Menciptakan Keseimbangan yang Sehat
Perusahaan perlu menemukan keseimbangan antara mendukung kesejahteraan karyawan dan memastikan bahwa produktivitas tetap terjaga. Keseimbangan ini bisa dicapai melalui beberapa pendekatan berikut: