Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Fenomena Gen Z Cabut dari Kantor, Kapan Jam Kerja Kantoran akan Berevolusi?

9 Oktober 2024   16:47 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:17 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Fenomena Great Resignation bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi telah menjadi sorotan global yang berdampak luas, termasuk di Indonesia. 

Gelombang pengunduran diri ini pertama kali mencuat ketika ratusan ribu pekerja, terutama dari kalangan Gen Z, memilih meninggalkan pekerjaan mereka tanpa ragu. 

Apa yang menyebabkan para generasi muda ini lebih memilih berhenti ketimbang beradaptasi dengan lingkungan kerja kantoran?

Menurut survei Glints pada awal tahun 2023, 67% pekerja muda di bawah usia 30 tahun merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi. 

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

Selain itu, sebanyak 58% dari mereka menyebutkan bahwa budaya kerja yang tidak fleksibel menjadi alasan utama mereka keluar dari perusahaan. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi perusahaan yang masih menerapkan pola kerja tradisional.

Mengapa Gen Z Memilih Resign Massal?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

1. Pencarian Work-Life Balance yang Sehat

Generasi Z tumbuh di era ketika informasi mengenai kesehatan mental, kebahagiaan, dan pentingnya waktu pribadi begitu melimpah. Mereka tidak lagi tertarik untuk mengejar karir yang menguras tenaga tanpa adanya keseimbangan hidup. 

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Deloitte (2023), sebanyak 76% pekerja muda mengutamakan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi di atas gaji tinggi dan jabatan prestisius.

"Setelah bekerja selama dua tahun tanpa jeda, saya merasa benar-benar habis. Waktu saya lebih banyak dihabiskan di kantor daripada untuk keluarga," ujar Nadia, seorang karyawan di Jakarta yang memutuskan resign karena mengalami burnout. 

Pernyataan ini mencerminkan realita yang dihadapi banyak pekerja muda, di mana mereka menginginkan waktu lebih untuk mengembangkan diri dan mengejar minat di luar pekerjaan.

2. Jam Kerja Fleksibel dan Remote Work yang Belum Diterapkan

Pandemi telah membuka mata banyak orang tentang kenyamanan bekerja dari rumah. Gen Z sangat mengutamakan fleksibilitas ini. Mereka menilai bahwa yang penting bukan berapa lama mereka duduk di depan meja, melainkan hasil yang mereka capai. 

Namun sayangnya, banyak perusahaan yang masih terjebak dalam pola pikir lama: jam kerja ketat dari 9 pagi hingga 5 sore.

Menurut studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review (2022), 70% karyawan muda akan menolak tawaran kerja yang tidak menyediakan opsi kerja jarak jauh. 

"Saya merasa lebih produktif ketika bekerja dari rumah. Saya bisa mengatur waktu sendiri dan hasilnya justru lebih optimal," kata Andi, seorang karyawan startup yang memutuskan berpindah ke perusahaan lain yang menawarkan kebijakan hybrid.

3. Ketidakpuasan terhadap Budaya Kerja yang Kaku

Gen Z menginginkan tempat kerja yang menghargai ide dan kreativitas mereka. Mereka enggan bekerja di perusahaan dengan hierarki yang kaku dan sistem birokrasi yang menghambat. 

Perusahaan yang masih menerapkan pola kerja satu arah, di mana karyawan hanya diharapkan mendengar perintah tanpa boleh mengemukakan ide, akan sulit mempertahankan talenta muda.

Laporan dari McKinsey & Company (2023) menemukan bahwa lebih dari 60% Gen Z merasa bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkontribusi secara strategis di tempat kerja mereka. 

"Saya ingin terlibat dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya menjadi eksekutor," keluh Dika, seorang mantan pegawai di perusahaan manufaktur.

Dampak Resign Massal Bagi Perusahaan

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E 

1. Kerugian Finansial yang Tidak Sedikit

Setiap kali seorang karyawan resign, perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk proses rekrutmen ulang, pelatihan, dan waktu adaptasi karyawan baru. 

Society for Human Resource Management (SHRM) melaporkan bahwa perusahaan rata-rata menghabiskan sekitar 30% dari gaji tahunan karyawan tersebut untuk mencari pengganti.

"Belum lagi biaya yang tidak terlihat, seperti penurunan moral tim dan produktivitas yang merosot ketika tim kehilangan anggota kuncinya," jelas Andika, seorang manajer HR di sebuah perusahaan multinasional.

2. Kehilangan Talenta Berkualitas

Perusahaan yang tidak beradaptasi akan kehilangan generasi pekerja yang seharusnya bisa menjadi motor penggerak inovasi. 

Menurut riset dari LinkedIn Talent Solutions (2022), perusahaan yang tidak menyediakan ruang fleksibilitas dan kesempatan berkembang berisiko kehilangan karyawan muda mereka hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.

"Anak-anak muda ini bukan tidak setia, tapi mereka cepat merasa bosan jika tidak ada tantangan dan ruang untuk berinovasi," ungkap Lina, seorang pengamat ketenagakerjaan.

3. Penurunan Citra Perusahaan

Semakin banyak karyawan muda yang keluar, semakin buruk reputasi perusahaan di mata pencari kerja baru. 

Review negatif di platform seperti Glassdoor bisa berdampak besar pada citra perusahaan. Ini juga membuat perusahaan sulit menarik talenta terbaik di masa depan.

Evolusi Jam Kerja Kantoran: Haruskah Dimulai Sekarang?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Jika ingin tetap relevan dan kompetitif, perusahaan perlu mulai mengevaluasi ulang sistem kerja mereka. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan kebijakan jam kerja fleksibel dan remote-first policy.

Misalnya, Buffer, sebuah perusahaan perangkat lunak, menerapkan kebijakan remote-first sejak 2015 dan mengalami peningkatan besar dalam kepuasan serta retensi karyawan. 

Sementara itu, Unilever di Selandia Baru mulai mengadopsi four-day workweek sebagai eksperimen untuk melihat apakah kebijakan ini bisa meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan karyawan.

Resign massal dari karyawan Gen Z bukan hanya tren sesaat, melainkan tanda bahwa dunia kerja tradisional sudah tidak lagi sejalan dengan kebutuhan generasi muda. 

Jika perusahaan tidak segera beradaptasi dengan menawarkan fleksibilitas, ruang untuk berkembang, dan lingkungan kerja yang lebih inklusif, bukan tidak mungkin fenomena ini akan terus berlanjut dan semakin besar.

Apakah Anda juga merasakan fenomena ini di tempat kerja Anda? Bagaimana cara perusahaan Anda menghadapinya? Yuk, diskusi di kolom komentar dan bagikan pendapat Anda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun