Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2024: Mampukah Kandidat Meraih Suara Generasi Z?

5 Oktober 2024   20:59 Diperbarui: 5 Oktober 2024   22:26 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Pemilu 2024: Strategi Kandidat Memenangkan Hati Pemilih Muda

 

Pemilu 2024 diprediksi akan menjadi salah satu kontestasi politik terbesar dalam sejarah Indonesia. Mengapa demikian? Karena lebih dari 60% pemilih yang terdaftar berasal dari kalangan muda, khususnya Generasi Z dan Milenial(csis). Dengan jumlah yang mendekati 114 juta orang, pemilih muda diproyeksikan menjadi penentu utama dalam menentukan siapa yang akan menduduki kursi kepemimpinan berikutnya. Segmen ini memiliki karakteristik unik, berbeda dari generasi sebelumnya: dinamis, kritis, dan sangat adaptif terhadap perubahan isu sosial dan politik. 

Namun, pemilih muda bukanlah kelompok yang mudah dimobilisasi. Mereka cenderung skeptis terhadap janji-janji politik yang kosong, apatis terhadap kampanye konvensional, dan menuntut transparansi serta tindakan nyata dari setiap kandidat. 

Hal ini menjadikan strategi untuk meraih suara pemilih muda bukan sekadar soal popularitas di media sosial, tetapi juga kemampuan untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan harapan mereka(rumahpemilu).

Karakteristik Pemilih Muda dan Tantangan Kampanye

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Menurut survei terbaru yang dirilis oleh CSIS, sebagian besar pemilih muda sangat dipengaruhi oleh media sosial, dengan 59% menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter sebagai sumber utama informasi politik(csis). Fenomena ini menciptakan tantangan tersendiri bagi para kandidat. Di satu sisi, media sosial menjadi alat yang efektif untuk menjangkau pemilih muda, tetapi di sisi lain, penggunaannya yang tidak bijak dapat memicu polarisasi, penyebaran hoaks, dan manipulasi informasi yang berbahaya(rumahpemilu).

Di Indonesia, tren ini sudah mulai terlihat dari strategi beberapa calon presiden yang aktif memanfaatkan media sosial untuk membangun citra mereka. Ganjar Pranowo, misalnya, memiliki 7,3 juta pengikut di TikTok dan 6,3 juta pengikut di Instagram. Anies Baswedan unggul di platform X (sebelumnya Twitter) dengan 4,9 juta pengikut, sedangkan Prabowo Subianto mendominasi di Facebook dengan 10 juta pengikut(rumahpemilu). Jumlah pengikut yang besar ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi "panggung politik" baru, di mana setiap kandidat bersaing tidak hanya untuk perhatian, tetapi juga untuk mendapatkan kepercayaan pemilih muda.

Strategi Kandidat dalam Menarik Pemilih Muda

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

1. Penggunaan Media Sosial yang Efektif
Kampanye digital tidak lagi sebatas unggahan janji politik atau pidato panjang di kanal YouTube. Kandidat harus lebih inovatif dan berani bereksperimen dengan format yang dekat dengan generasi muda, seperti konten video pendek di TikTok, meme yang relatable, serta infografis yang mudah dipahami. Video interaktif yang mengajak audiens untuk berpartisipasi, sesi Q&A di Instagram Live, hingga kolaborasi dengan kreator konten lokal telah menjadi strategi yang banyak diadopsi.

Sebagai contoh, Ganjar Pranowo kerap menggunakan TikTok untuk menyampaikan program-program kerjanya dengan gaya yang lebih kasual dan menghibur, sementara Prabowo Subianto menggunakan Facebook untuk menampilkan kegiatan sehari-harinya guna menciptakan kedekatan dengan pemilih senior dan muda secara bersamaan. Strategi ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat kampanye, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun narasi dan citra kandidat(rumahpemilu).

2. Kolaborasi dengan Influencer dan Komunitas Muda
Kandidat yang paham pentingnya suara pemuda tahu bahwa merangkul influencer dan aktivis muda adalah langkah strategis untuk menarik atensi mereka. Anies Baswedan, misalnya, kerap kali terlihat berkolaborasi dengan komunitas pencinta anime di Jakarta. 

Langkah ini bukan hanya untuk menarik minat, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa kandidat tersebut memahami minat dan kultur anak muda(rumahpemilu). Namun, kolaborasi semacam ini harus dilakukan dengan hati-hati. Generasi muda sangat peka terhadap pencitraan yang dipaksakan dan bisa dengan cepat mendeteksi ketidakotentikan.

3. Kampanye Berdasarkan Isu yang Dekat dengan Pemilih Muda
Jika generasi sebelumnya lebih tertarik pada stabilitas ekonomi dan keamanan, generasi muda saat ini lebih peduli pada isu-isu sosial seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan hak-hak kebebasan berekspresi. Kandidat yang berani mengangkat isu-isu ini secara substantif dan menunjukkan program nyata akan lebih mudah meraih simpati. Misalnya, beberapa kandidat mulai memasukkan kebijakan energi terbarukan dan program keberlanjutan lingkungan sebagai bagian dari agenda kampanye mereka(csis).

4. Kreativitas dalam Menyampaikan Pesan Politik
Kreativitas adalah kunci utama dalam memenangkan hati pemilih muda. Mereka lebih menyukai konten yang out of the box dan berbeda dari gaya kampanye konvensional yang monoton. 

Menggunakan video parodi, lagu kampanye yang catchy, atau bahkan komik politik dapat menjadi strategi yang efektif. Misalnya, di Amerika Serikat, Alexandria Ocasio-Cortez sukses menggunakan Instagram Live untuk berdialog secara informal tentang isu-isu kebijakan, membuatnya terasa lebih autentik dan dekat dengan audiens muda.

Mengatasi Tantangan: Apatisme Pemilih Muda

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Salah satu tantangan terbesar dalam meraih suara pemilih muda adalah sikap apatis yang tinggi. Survei menunjukkan bahwa hanya 16% pemuda yang rutin mengikuti berita politik(rumahpemilu). Ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap janji politik dan kekecewaan terhadap sistem yang ada. 

Untuk mengatasi tantangan ini, kandidat harus lebih dari sekadar menarik perhatian. Mereka harus membangun kepercayaan dengan menunjukkan tindakan nyata dan menawarkan ruang bagi pemilih muda untuk berkontribusi.

Pemilih muda adalah segmen yang sangat strategis namun sulit didekati. Untuk memenangkan hati mereka, kandidat harus mampu memadukan strategi digital yang inovatif dengan pendekatan substansial yang membahas isu-isu yang relevan bagi mereka. Pemilu 2024 bukan lagi soal siapa yang paling populer di media sosial, tetapi siapa yang mampu menawarkan perubahan nyata yang sesuai dengan harapan dan aspirasi pemuda Indonesia.

Dengan memahami dinamika dan preferensi pemilih muda, serta menghindari jebakan citra kosong di media sosial, kandidat dapat memposisikan diri sebagai figur yang tidak hanya layak dipilih, tetapi juga diharapkan untuk membawa perubahan nyata bagi masa depan Indonesia.

Bagaimana menurut Anda? Apakah strategi kampanye digital sudah cukup untuk memenangkan hati pemilih muda? Atau justru perlu ada pendekatan baru? Yuk, bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan mari berdiskusi bersama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun