Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Survei "Pesanan" atau Realitas? Mengurai Fenomena di Balik Angka

3 Oktober 2024   20:45 Diperbarui: 3 Oktober 2024   20:55 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Ketika lembaga survei yang seharusnya menjadi penjaga netralitas informasi mulai kehilangan kredibilitasnya, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh lembaga tersebut, tetapi juga oleh seluruh masyarakat. Ada dua dampak utama yang perlu diperhatikan:

  1. Mengaburkan Realitas:Hasil survei yang tidak obyektif bisa menyesatkan persepsi masyarakat. Contoh konkret yang sering terjadi adalah ketika lembaga survei mengklaim bahwa popularitas seorang kandidat sangat tinggi, padahal hasil survei tersebut tidak mencerminkan realitas di lapangan. Data yang bias ini akan mempengaruhi persepsi publik dan bahkan bisa mengubah hasil pemilu karena pemilih ragu-ragu cenderung memilih kandidat yang dianggap lebih kuat.

    Misalnya, jika sebuah survei menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung kebijakan tertentu, padahal kenyataannya hanya sebagian kecil yang benar-benar mendukung, hal ini akan menimbulkan illusion of consensus. Masyarakat yang tadinya menolak kebijakan tersebut bisa saja berubah pikiran karena merasa mereka adalah minoritas. Ini adalah salah satu cara lembaga survei yang "dibayar" memanipulasi opini publik.

  2. Mengurangi Kepercayaan Publik:Dampak yang lebih serius adalah ketika masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap semua lembaga survei. Bukan hanya lembaga yang terbukti "dibayar," tetapi semua lembaga, termasuk yang benar-benar independen, akan terkena dampaknya. Ini bisa berbahaya bagi demokrasi, karena lembaga survei sebenarnya memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang obyektif dan akurat.

    Ketika kepercayaan publik hilang, data apa pun yang dirilis akan dianggap sebagai manipulasi, tidak peduli seberapa akurat metodologinya. Ini menciptakan sikap skeptis di kalangan masyarakat yang pada akhirnya bisa menyebabkan kebingungan informasi. Akibatnya, masyarakat akan sulit membedakan mana data yang obyektif dan mana yang tidak.

Antitesis terhadap Praktik Lembaga Survei yang Dibayar: Menemukan Jalan Keluar

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah konkret perlu diambil. Pertama, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan. Setiap lembaga survei yang merilis hasil penelitiannya harus mengungkapkan siapa yang mendanai survei tersebut, bagaimana metodologinya, dan apakah ada potensi bias dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, publik dapat menilai sendiri apakah hasil survei tersebut bisa dipercaya atau tidak.

Kedua, lembaga survei yang benar-benar independen harus lebih diberi ruang. Masyarakat dan media perlu lebih selektif dalam mengutip hasil survei dan harus berani menolak survei yang tidak transparan. Di beberapa negara maju, lembaga survei yang kredibel biasanya memiliki rekam jejak yang jelas dan tidak takut untuk mengkritik hasil penelitiannya sendiri jika ternyata ada kesalahan.

Ketiga, regulasi dari pemerintah atau otoritas independen juga penting. Misalnya, pemerintah dapat mewajibkan lembaga survei untuk melakukan audit metodologi sebelum hasil survei dirilis ke publik. Ini akan menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa setiap hasil survei benar-benar mencerminkan opini publik yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun