Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Series Gangguan Mental #5: Gangguan Makan: Ketika Standar Kecantikan Mengancam Kesehatan Mental

3 Oktober 2024   05:59 Diperbarui: 3 Oktober 2024   06:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menariknya, BED sering kali dianggap sebagai bentuk makan berlebihan biasa dan tidak diakui sebagai gangguan yang serius. Padahal, penderita mengalami perasaan bersalah dan rendah diri yang dalam setiap kali mereka tak mampu mengontrol dorongan makan tersebut. Mereka pun kerap berakhir dalam lingkaran setan yang sulit untuk dihentikan, karena setiap kali berusaha menghindari makan, emosi negatif justru semakin memicu keinginan untuk mengonsumsi lebih banyak makanan.

Mengurai Akar Masalah: Kompleksitas Gangguan Makan

Gangguan makan bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari tumpukan permasalahan emosional, sosial, dan budaya. Menurut Journal of Eating Disorders, ada beberapa faktor yang berperan sebagai akar dari gangguan makan, yaitu:

  1. Faktor Psikologis
    Banyak penderita gangguan makan memiliki riwayat trauma, seperti bullying terkait berat badan atau pengalaman kekerasan. Perasaan tidak berharga dan kurangnya kepercayaan diri kerap menjadi pemicu utama yang mendasari perilaku mereka.

  2. Tekanan Sosial dan Budaya
    Standar kecantikan yang mengagungkan tubuh langsing sebagai simbol kesuksesan dan kebahagiaan memicu banyak orang, terutama remaja, untuk melakukan diet ketat. Media sosial turut berperan besar dalam membentuk persepsi ini, di mana tubuh yang kurus sering diasosiasikan dengan status sosial yang lebih tinggi.

  3. Lingkungan Keluarga
    Pola asuh yang terlalu menekan terkait dengan citra tubuh atau kebiasaan makan juga bisa memicu perkembangan gangguan makan. Keluarga yang kurang mendukung secara emosional, atau yang memiliki riwayat gangguan makan sebelumnya, berpotensi tinggi untuk mewariskan pola perilaku ini kepada generasi berikutnya.

Langkah Praktis Mengatasi Gangguan Makan

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Gangguan makan bukanlah kondisi yang mudah diatasi, namun beberapa langkah berikut ini bisa membantu proses pemulihan, baik dari segi individu maupun keluarga:

  1. Pendekatan Multidisipliner
    Mengatasi gangguan makan memerlukan pendekatan dari berbagai aspek, seperti terapi kognitif-perilaku, terapi nutrisi, dan dukungan medis. Mengikutsertakan ahli psikologi, ahli gizi, serta tenaga medis dapat membantu penderita menemukan akar permasalahan dan membangun pola makan yang sehat.

  2. Dukungan Keluarga yang Positif
    Peran keluarga sangat penting dalam proses pemulihan. Menunjukkan empati, memberikan ruang untuk berdiskusi tanpa menghakimi, dan menciptakan lingkungan yang mendukung bisa menjadi kunci keberhasilan. Menurut penelitian di Journal of Family Psychology, keluarga yang terlibat aktif dalam terapi keluarga mampu meningkatkan peluang pemulihan hingga 70%.

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Healthy Selengkapnya
    Lihat Healthy Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun